Kalau Bisa Kembali ke Masa Lalu, ke Tanggal Berapa Kamu akan Pergi?

Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.

Kalau Pembaca yang baik hati bisa me-restore kehidupan kembali ke masa lalu, ke manakah Pembaca ingin pergi?

Marhardika Gilang, seorang pendiri dan CEO Jetorbit, sebuah provider layanan web hosting yang pernah saya tulis reviewnya di blog ini (klik: Review Web Hosting Jetorbit dari Pengalaman Pribadi”) menulis sebuah postingan yang sangat singkat di blognya.

Meski teramat singkat, tulisan tersebut sangatlah menarik.

Tulisan tersebut berjudul “Restore Point“.

Dia tulis begini:

Andaikan hidup ini punya restore point seperti di Windows. Fitur yang bisa membalikan kondisi PC ke tanggal tertentu di masa lampau.

Tanggal berapa kamu ingin membuat life restore point kamu?

Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan itu, bila saya bisa kembali ke masa lalu, merestore kehidupan saya, maka ke titik restore mana saya ingin kembali?

Ini jelas pertanyaan imajinasi, tak akan pernah terwujud.

Tetapi meski imajinasi, saya menemukan bahwa dengan mencoba menjawab pertanyaan itu ternyata saya bisa menjadi lebih bersyukur untuk hari ini.

Nah, bagaimana caranya dari menjawab pertanyaan itu jadi bikin kita bisa merasa lebih bersyukur?

Yuk, kita coba.

Gambar jam waktu mengikat inspirasi diakhir.blog
Source: Pixabay.com / Foto-RaBe

Di sini mari kita andaikan ada 2 skenario yaitu:

(1) Kembali (restore) ke masa lalu dengan ingatan masa kini tetap terbawa

dan

(2) Kembali ke masa lalu dengan ingatan masa lalu (ingatan saat ini terhapus atau di-restart, balik ulang lagi di titik restore).

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan “ingin kembali ke mana di masa lalu?” dengan kedua skenario tersebut.

1. Kembali ke Masa Lalu dengan Membawa Ingatan Sekarang? Restore ke Tahun 2006

Jika saya bisa kembali ke masa lalu dengan membawa ingatan di hari ini, artinya saya bakal tetap ingat bahwa saya berasal dari masa depan.

Jika demikian skenarionya maka saya ingin restore hidup saya ke tahun 2006, karena sesuatu telah terjadi di tahun 2006, sesuatu yang menjadi masa paling kelam dalam hidup saya sejak lahir hingga saya menulis artikel ini.

Ada kisah menyedihkan yang pernah terjadi di tahun itu dan telah mempengaruhi hidup saya.

Begini ceritanya.

Di masa itu saya punya kebiasaan menulis hal-hal penting yang akan saya lakukan atau lalui di lembaran kertas. Lalu kertasnya saya tempel ke dinding.

Ketika sudah terlaksana atau terlalui, poin-poin aktivitas atau momen yang harus saya lakukan atau yang harus saya lalui itu akan saya coret.

Gambar yang menjadi ilustrasi bahwa saya punya kebiasaan menulis hal-hal penting yang akan saya lakukan atau lalui di lembaran kertas. Lalu kertasnya saya tempel ke dinding.
Source: Pixabay.com / DraCat

Saya melakukan itu untuk mengingatkan diri saya pada apa yang harus saya lakukan/lalui. Kemudian saya akan menyediakan momen khusus, momen sederhana, untuk sekadar bersyukur apabila saya telah menyelesaikan semuanya atau mencoret semuanya.

Biasanya dengan makan di tempat makan yang istimewa (yang harganya lebih mahal sedikit dari di tempat makan sehari-hari) atau beli jajanan di minimarket lalu dinikmati di malam hari sambil membaca buku novel yang saya pinjam di perpustakaan UI.

Pada saat itu kertas yang saya tempel bertuliskan antara lain ujian-ujian akhir semester, tugas kuliah, dan beberapa tugas-tugas kuliah lain. Jika seluruh poin di kertas tersebut telah dicoret, maka saya bisa menyambut momen liburan akhir semester dengan hati yang tenang, begitu pikir saya.

Saya sudah mencoret semua daftar ujian akhir semester dan tugas kuliah, artinya segala urusan perkuliahan di semester tersebut telah selesai.

Begitu juga dengan daftar aktivitas lainnya, sudah semuanya saya coret. Kecuali, hanya tinggal 1 aktivitas saja yang belum saya coret, artinya belum terlaksana, yaitu acara rapat kerja (raker) sebuah organisasi kampus tingkat fakultas.

Berhubung saya menjadi anggotanya yaitu di Divisi Media, maka saya pun juga akan mengikuti acara raker tersebut.

Setelah acara tersebut, maka saya bisa menutup semester dengan penuh syukur dan bersiap memulai semester baru lagi setelah liburan akhir semester.

Begitu harapan saya.

Tetapi kenyataannya tidak demikian, ternyata ada hal buruk terjadi dalam waktu dekat.

Jadi siang itu, saya pergi ke acara raker. Kami janjian di Stasiun Universitas Indonesia. Ada belasan orang yang berkumpul.

Saat saya tiba, rombongan sudah hampir berangkat berjalan kaki ke arah jalan raya. Dari situ kami akan naik angkot ke lokasi raker yaitu rumah seorang teman kami di sebuah perumahan di Jakarta Selatan.

Saat teman-teman bangkit dari duduk-duduk di stasiun dan mulai berjalan kaki, saya melihat ada alat proyektor milik organisasi yang hampir tertinggal begitu saja di lantai stasiun. Saya pun mengingatkan siapa yang tadi membawa proyektor tersebut agar tidak melupakannya.

Kemudian saya dan teman-teman pun berjalan kaki ke tempat angkot dan naik angkot.

Ini masalahnya, jadi pas saya masuk ke angkot, saya masuk duluan dan dapat duduk di dekat sopir (kursi di belakang sopir). Saya melihat teman saya yang juga sedang masuk dengan memegang tas proyektor itu, lalu saya menawarkan bantuan buat memegangi proyektor tersebut sambil dia masuk. Kemudian saya meletakkan proyektor tersebut di samping kanan saya (di antara dinding angkot belakang sopir dan badan saya).

Sebuah kesalahan besar, karena setelah saya turun, dan kami semua turun, tak ada seorang pun yang ingat kita tadi masuk angkot membawa proyektor!

Yang sayangnya, saya menjadi orang paling terakhir yang memegangnya..

Kami baru tersadar ketika angkot tersebut telah berjalan lagi dan hilang dari pandangan. Proyektor barusan tertinggal di angkot tadi?!

Seketika saya dan satu atau dua orang teman, lupa saya tepatnya, pergi ke pangkalan angkot tersebut di terminal Depok.

Kami menunggu setiap angkot yang datang untuk menanyakan apakah mereka tadi melihat ada tas berisi proyektor yang tertinggal. Semua menjawab tidak melihat.

Setelah cukup lama bertahan di pangkalan angkot dan menanyai satu per satu sopir angkot, kami pun menyadari kecil kemungkinan tas proyektor tersebut bisa ditemukan.

Lagipula apa iya dari sekian penumpang yang ada di dalam angkot tersebut (saat itu yang ada di dalam angkot bukan hanya rombongan saya saja, melainkan juga penumpang lain) tidak ada satu pun yang melihat ada barang tertinggal saat kami turun dari angkot?

Kami pun kembali menuju rumah teman yang menjadi tempat raker tersebut.

Di sana saya sudah tidak bersemangat lagi mengikuti jalannya acara raker yang semestinya menyenangkan.

Pulang dari acara, saya merasa lemas dan sakit. Saya berjalan kaki dengan lunglai menuju kosan.

Beberapa hari kemudian, saya dikontak oleh pengurus untuk membicarakan masalah proyektor tersebut. Apa mungkin saya bisa dan berkenan menggantinya?

Jika saya bisa menggantinya tentu akan saya ganti, tetapi bagaimana mungkin sedangkan kuliah di FEUI saja saya dibantu bantuan keringanan kuliah karena termasuk keluarga dari ekonomi yang berhak mendapat keringanan biaya kuliah.

Beberapa hari berlalu tampaknya belum ada solusi, sampai kemudian saya kembali dihubungi lagi buat bertemu di masjid dekat kosan.

Di sana saya diajak patungan Rp400.000 untuk mengganti proyektor yang hilang tersebut. Jumlah yang sangat besar buat saya, tetapi saya pun akhirnya menyanggupi.

Saya meminta uang ke ibu saya. Ibu saya pun akhirnya paham mengapa anaknya ini sejak beberapa hari terakhir mendadak berubah jadi pendiam.

Ibu saya memberi uang tersebut, meski akhirnya bertanya juga kenapa kamu harus menggantinya? Memangnya itu kesalahan kamu? Kenapa tidak pernah cerita?

Ya, sebenarnya saya sendiri dari lubuk hati terdalam tidak merasa bersalah, atau setidaknya tidak merasa itu sepenuhnya kesalahan saya. Kenapa? Sebab dalam keberangkatan menuju raker tidak pernah ada pembicaraan untuk menugaskan siapa bertanggungjawab membawa apa.

Saya hanya datang ke Stasiun UI tempat janjian berkumpul.

Di sana pun tidak ada perkataan apa-apa, seakan barang-barang perlengkapan milik organisasi itu dibawa begitu saja oleh teman-teman yang berangkat dari ruang sekretariat. Terbukti bahwa pada saat kami berangkat ke arah jalan raya, tas proyektor tersebut sejak awal sudah hampir tertinggal di stasiun.

Kemudian saat saya naik angkot pun saya hanya membantu memasukkan proyektor ke dalam angkot, yang sayangnya tidak ditagih lagi oleh yang membawa masuk ke angkot. Jadi saya tetap memegangnya.

Sayangnya karena saya menyentuhnya di tengah perjalanan, tidak sejak awal ditugaskan, maka saya pun terlupa bahwa saya sedang membawa proyektor.

Saya yang masih hijau usia saat itu, sedang menikmati masa perkuliahan dan berorganisasi, seketika merasa kecewa.

Saya menduga saat itu nama saya menjadi pembicaraan sebagai orang yang menghilangkan properti milik organisasi.

Bukan hanya kecewa, saya pun merasa kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang, mungkin istilahnya “trust issue“.

Betapa tidak, saya merasa diperlakukan tidak adil, yang sayangnya oleh orang-orang yang saya kenal sebagai orang baik-baik. Tetapi meski baik, kenapa ya tetap juga menagih ganti rugi atas sesuatu yang di luar kontrol semacam itu.

Sejak saat itu hingga kuliah saya lulus, saya benar-benar menjadi orang yang menarik diri dari kehidupan kampus. Saya tak lagi berminat untuk aktif berorganisasi. Saya hanya fokus untuk menikmati waktu sendiri atau bersama teman ngekos.

Padahal sejak SMP saya aktif mengikuti ekstrakulikuler. Malah di masa SMA saya sering menginap di sekolah untuk mempersiapkan acara sekolah seperti peringatan Maulid Nabi.

Seakan saya mati perlahan.

Bayangkan, padahal tadinya hanya item “mengikuti raker” saja yang tersisa untuk dicoret, artinya saya menganggap diri saya sudah 98% menjalankan seluruh misi di kertas aktivitas yang saya buat. Hanya tinggal 2% lagi yaitu mengikuti raker.

Bayangkan, padahal saya sudah hampir dekat dengan momen liburan akhir semester, ternyata situasinya pecah berantakan oleh sesuatu yang tak ada dalam perhitungan saya.

Gambar coretan kertas rencana aktivitas to-do list
Source: Pixabay.com / Richard Park

Bila saya bisa me-restore kehidupan saya kembali ke masa lalu, maka saya pikir saya ingin pergi ke masa-masa itu untuk mencegah hal itu terjadi. Sebab setelah itu hari-hari menjadi terasa kelabu, bahkan hingga saya lulus kuliah. Meski perlahan “trust issue” saya mulai pudar.

Tetapi pada akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak ingin kembali ke masa lalu. Kenapa? Nanti saya jelaskan.

2. Kembali ke Masa Lalu dengan Ingatan yang Di-Restart? Tidak Mau, ah!

Nah, sekarang, bagaimana jika saya bisa me-restore hidup saya ke masa lalu tetapi ingatan saya juga di-restore atau di-restart ke masa lalu, alias saya bakal melupakan semua yang pernah terjadi di masa depan.

Jika ini situasinya maka jawaban saya adalah: tidak mau.

Kenapa? Karena itu sama saja mengulang hidup saya sekali lagi, sedangkan tidak ada jaminan bahwa jika saya mengulang hidup saya dari titik restore, maka untuk selanjutnya saya akan menjadi orang yang lebih baik lagi.

Bahkan saya juga tidak bisa menjamin saya akan menjadi orang yang sama baiknya dengan yang sekarang.

Bisa jadi malah saya akan menjadi orang yang lebih buruk dari yang sekarang.

Atau malah jauh, jauh lebih buruk dari sekarang.

3. Apa pun Masa Lalu Saya, Saya Menerimanya

Nah, dengan mencoba menjawab pertanyaan imajiner barusan: “jika Pembaca yang baik hati bisa me-restore kehidupan ke masa lalu, Pembaca ingin me-restore ke mana?” Saya jadi menelusuri, mengingat kembali, hal apa di masa lalu yang ingin saya ubah.

Lalu saya pun bertanya kepada diri saya sendiri, memangnya kenapa ingin saya ubah?

Saya pun menjawab, karena itu adalah momen terkelam dalam hidup saya yang ingin saya cegah terjadinya.

Kemudian saya pun tersadar, yah, barangkali benar itu memang momen tergelap dalam hidup saya, tetapi.. SAYA TOH SUDAH MELALUINYA. dan SAYA JUGA TELAH MENGAMBIL HIKMAHNYA.

Hmm, benar juga ya. Ternyata saya pernah melalui masa-masa berat dalam hidup saya dan saya tak pernah bilang itu semua mudah saya lalui, akan tetapi saya telah melalui semuanya. Berkat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berapa banyak masa lalu yang saya rasakan begitu berat?

Misalnya saja, masa-masa saya kelas 3 SMA jurusan IPA, yang saya merasa ternyata mata pelajaran Matematika IPA dan FISIKA adalah 2 pelajaran yang saya paling sulit kuasai, bahkan sampai hari ini saya masih heran bagaimana ya saya kok bisa survive di SMA kelas 3.

Yah, ini sih masalah personal saya saja, tidak berlaku bagi semua orang pastinya, akan tetapi bagi saya Matematika IPA dan FISIKA adalah pelajaran yang lebih sulit daripada seluruh pelajaran di kuliah S1 dan S2 yang pernah saya ambil.

Poinnya adalah pada akhirnya saya ternyata survive melaluinya.

Masa kelam 2006 itu? Saya survive melaluinya.

Masa mengupayakan pernikahan ketika saya khawatir uangnya tidak cukup?

Masa kuliah di Jepang ketika saya harus mengganti topik thesis karena menemukan jalan buntu?

Masa terpapar Covid-19 ketika saya merasa putus asa melihat orang-orang di rumah saya pada terkapar?

Dan masa-masa lainnya?

Semuanya telah berlalu dan saya survive melaluinya.

Saya tidak bilang saya sukses atau berhasil. Saya hanya bilang saya survive atau bertahan hidup.

Dan semuanya karena pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apakah saya memperoleh sesuatu pelajaran dari setiap momen berat tersebut? Alhamdulillah, insya Allah saya telah memperoleh banyak pelajaran berharga.

Jika demikian, masa-masa sulit tersebut mestinya bisa disyukuri juga karena baik dan buruknya telah memberi hikmah yang berharga.

Saya tidak perlu kembali ke masa lalu untuk mengubah masa lalu. Saya telah menerima semuanya, insya Allah.

Yang saya inginkan sekarang hanyalah membentuk masa depan saya, menjadi lebih baik sampai akhir hidup saya.

Baiklah, demikian tulisan ini, semoga bermanfaat. Yuk, mari bersyukur kita telah survive hingga hari ini.

Iqbal – diakhir.blog

3 thoughts on “Kalau Bisa Kembali ke Masa Lalu, ke Tanggal Berapa Kamu akan Pergi?”

  1. Sepakat mb, saya juga tak ingin mengulang lagi, cukup masa lalu menjadi pelajaran. Dan bagi saya pelajaran-pelajaran tersebutlah yang membentuk saya saat ini (apa pun keadaan saya saat ini).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top