Lenyapnya Ayam Goreng Gaji Pertama

Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.

Merayakan Gaji Pertama dengan Impian Masa Kecil

Memperoleh gaji pertama adalah hal yang berkesan bagi sebagian orang.

Ada orang-orang yang merayakan gaji pertama mereka dengan membeli barang yang selama ini mereka incar. Seperti jam tangan misalnya.

Ada orang-orang yang merayakan gaji pertama mereka dengan mentraktir keluarga atau teman.

Atau juga mentraktir diri sendiri.

Seperti yang pernah saya lakukan dulu saat merayakan gaji pertama, selain mentraktir keluarga saya juga mentraktir diri sendiri di lain waktu.

Sayangnya momen istimewa yang mestinya meninggalkan kenangan indah itu ternyata malah rusak berantakan.

Karena satu kesalahan.

Apa itu?

Begini ceritanya..

Waktu saya kecil, perekonomian keluarga saya sangat sederhana.

Meski begitu ayah dan ibu saya tetap berupaya memberikan anak-anaknya bacaan anak-anak berkualitas.

Misalnya dengan berlangganan Majalah Bobo yang diantar ke rumah tiap Kamis.

Atau sesekali ayah saya pergi ke pasar Jatinegara buat membeli majalah Donal Bebek bekas.

Nah, salah satu iklan yang sering muncul di Majalah Bobo adalah restoran cepat saji seperti KFC, Texas Chicken, atau McD.

Saya dan saudara-saudari saya biasanya hanya bisa melihat foto-foto ayam goreng dan burger yang tampak renyah di iklan tersebut.

Alih-alih mengajak pergi ke resto tersebut, biasanya ibu membuatkan kami ayam goreng tepung ala kentucky.

Kalau lagi menikmati ayam goreng buatan ibu, biasanya saya makan nasinya duluan, kemudian ayam gorengnya.

Saya bertekad suatu saat nanti saya akan memakan ayam goreng KFC kalau sudah bisa mencari uang sendiri.

Peluang mewujudkan impian masa kecil tersebut tiba ketika beberapa tahun kemudian saya mendapat kerja di Jakarta dan memperoleh gaji pertama.

Jumat malam itu sepulang kerja saya mampir ke sebuah mall, menuju ke restoran KFC.

Dengan rasa antusias saya memesan satu porsi ayam goreng beserta nasi.

Impian masa kecil saya akan segera terwujud!

Kemudian seporsi ayam goreng pun tiba di hadapan saya, akan tetapi masih panas.

Saya tidak suka memakan masakan yang masih panas.

Maka sambil menunggu panasnya berkurang, saya pun mengambil ponsel dari tas dan melihat-lihat akun Facebook saya.

Terpancing Jebakan Debat

Setelah beberapa menit melihat-lihat status orang-orang, mata saya menangkap status seorang teman FB, dia teman satu kampus dulu.

Di status FB-nya dia mengomentari berita viral tadi siang yang masih sangat hangat tentang seorang tokoh yang diduga melakukan skandal.

Meski belum jelas kebenaran kabar tersebut namun teman FB ini dengan mudahnya mengomentari dengan nada nyinyir.

Saya tidak kenal secara pribadi dengan sang tokoh dimaksud, akan tetapi selama ini saya mendapat kesan kalau beliau adalah orang baik-baik.

Entah beliau hanya sedang terbuka aibnya ataukah itu rekayasa, saat itu belum jelas duduk perkaranya.

Saya pun mengomentari status sang teman FB, mencoba mengingatkannya agar tidak menulis seperti itu seolah sudah pasti kebenarannya.

Sayangnya niat baik saya tidak ditangkap dengan baik, justru dia malah semakin menjadi-jadi mengejek sang tokoh.

Sebenarnya saya bukan satu-satunya orang yang berkomentar mengingatkan, beberapa teman saya yang juga temannya pun mengingatkan dirinya.

Namun sang pemilik status tetap bersikeras mempertahankan tindakannya.

Maka terjadilah debat panas.

Kami saling berbalas komentar.

Situasinya sebenarnya begini, sang penulis status FB ini sebenarnya sebelumnya sudah beberapa kali terlibat perdebatan dengan teman-teman saya.

Jadi ketika teman-teman saya tahu saya berdebat dengannya, mereka pun ikutan terjun melibatkan diri.

Setelah beberapa waktu, saya pun mulai merasa lapar.

Lalu saya melihat ke piring dan ternyata.. Ayam goreng saya lenyap!

Waduh, kemana tuh?

Tidak kemana-mana.

Ayam goreng itu telah masuk ke perut saya, hanya saja.. tanpa saya sadari!

Jadi saat tadi saya berdebat, saya memfokuskan pikiran pada layar ponsel dan jalannya pertempuran komentar.

Sedemikian fokusnya sehingga tanpa saya sadari tangan saya telah meraih ayam goreng impian dan melahapnya hingga habis

Ternyata perdebatan tadi telah menguasai pikiran saya.

Ini memalukan.

Atau lebih tepatnya ini menyedihkan.

Ayam goreng tadi mestinya menjadi ayam goreng impian masa kecil yang akhirnya bisa saya beli dengan gaji pertama.

Semestinya malam itu menjadi malam indah berkesan.

Sayangnya saya telah merusaknya.

Saya pun pulang dengan kecewa sekaligus menyesal.

Gambar robot Kore Janai Robo blue KR-02 mengilustrasikan saya yang pulang dengan kecewa sekaligus menyesal.
Ilustrasi kecewa

Satu Malam yang akan Terus Dikenang

Meski malam itu terasa berantakan, tetapi pada akhirnya tetap menjadi malam yang bersejarah.

Sebuah sejarah telah tertorehkan, yaitu bahwa mulai malam itu saya akan lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.

Tidak ingin lagi terjebak pada perdebatan semacam itu.

“Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud)

Sang teman FB, saya tak tahu masalah apa yang tengah di hadapinya, apa latar belakang kisah kehidupannya, saya tidak tahu.

Tapi satu hal yang saya tahu: saya tidak ingin lagi terseret dan terlibat dalam perdebatan semacam itu.

Saya kuatir waktu saya yang sangat berharga jadi tersia-siakan.

Ayam goreng tadi adalah buktinya.

Iqbal – diakhir.blog

2 thoughts on “Lenyapnya Ayam Goreng Gaji Pertama”

  1. Pernah dalam situasi itu pak. Bedanya, saya masuk ke dalam grup isinya orang-orangnya bergelar akademis.

    Lalu suatu waktu malam, admin grup itu mengirim tulisan dia sendiri. Saya memahami isinya sebagai hal-hal yang mencela suatu golongan dalam sebuah agama. Termasuk memperlihatkan bagaimana cara pemahaman dia dalam beragama. Padahal, dia sendiri beragama itu.

    Sebagai sesama penulis, narasi tulisan itu menjebak mereka yang tidak paham agama.

    Saya yang gatal, akhirnya menegur dalam komentar. Bukan saya saja yang menegur. Ada juga yang menegur dengan cara menyindir.

    Sejak dari malam sampai pagi saya kepikiran komentar saya sendiri. Berhubung dia admin juga.

    Akhirnya, paginya saya hapus komentar itu.

    Biarlah dia ada di dalam jalan pemahamannya dia sendiri. Saya hapus komentar saya karena saya pikir penulis itu sudah membaca komentar saya. Jadi gugur sudah kewajiban saya mengingatkannya.


    Sejak saat itu, saya janji tidak akan membuat status FB atau komentar di mana saja. Kecuali itu sangat-sangat penting. Lagi pula, FB sudah bukan tempat yang nyaman untuk berekspresi.

    Lebih engak ngeblog.

    salam

    1. Saya bisa relate dengan komentar Pak Ridha, saya pernah mengalami juga.

      Sebenarnya tulisan saya ini ada kelanjutannya yang tidak saya tulis. Jadi di malam itu saya pun menghubungi si pembuat status, saya minta maaf, sambil dalam hati mempersilakan dia untuk menulis apa saja..

      Sekarang kalau menemukan ada postingan di FB yang benar-benar penting untuk diklarifikasi saya lebih memilih untuk japri dengan nuansa menyampaikan dan jika memungkinkan mengajak diskusi, bukan debat.

      Apabila itu teman yang sering ketemu misal teman kuliah waktu kuliah atau teman kantor, maka saya prefer ngobrol langsung dengan orangnya.

      Sebenarnya bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan saya peduli/perhatian kepada yang bersangkutan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top