Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Ini beberapa hal yang bikin saya merasa nyaman dengan dunia blogging atau menulis blog:
1. Seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadikan saya dan seorang penulis blog lainnya sebagai responden skripsi yang mengangkat topik gaya hidup minimalis.
4. Seseorang yang tertarik berkomentar di tulisan saya tentang buku Goodbye, Things, buku yang life-changing bagi saya, karena dia juga menemukan buku itu, membacanya, dan menindaklanjutinya degan membakar foto-foto masa lalunya agar tak tenggelam dengan masa lalunya yang menurutnya buruk, menyingkirkan sebagian barang-barangnya, hidup sederhana dan bersyukur, dan mengutamakan fungsi daripada gengsi.
Dan interaksi-interaksi lainnya, yang bikin saya betah ngeblog.
Setiap produk teknologi pada umumnya bisa kita manfaatkan oleh kita.
Saya pakai Facebook untuk tetap terkoneksi dengan teman-teman saya, khususnya teman-teman yang sudah jarang berjumpa di dunia nyata. Saya juga pakai Facebook untuk beriklan.
Kemudian, saya juga pakai Youtube, Instagram (meski jarang), dan sebagainya.
Semuanya bisa kita manfaatkan. Semuanya hanya sarana.
Demikian pula blog. Blog pada dasarnya hanya sarana, saya memilih blog sebagai salah satu sarana yang saya ambil manfaatnya.
4 Manfaat Blog bagi Saya
Mengapa saya memilih blog sebagai salah satu sarana yang saya ambil manfaatnya?
Baiklah..
Pertama, menulis di blog membantu saya belajar memformulasikan pikiran dan menyampaikannya dalam susunan kalimat yang sistematis.
Saat membaca halaman demi halamannya saya seakan menemukan inspirasi baru yang belum pernah saya temukan sebelumnya.
Terlebih buku Goodbye, Things, saya coba mencari hal yang bisa digarisbawahi atau distabilo, ternyata tidak bisa, karena setiap halamannya ada pesan penting!
Saya pun menemukan tulisan-tulisan blog lainnya dengan topik serupa, dan tulisan-tulisan tersebut membantu membentuk framework atau kerangka pikir saya yang signifikan berbeda.
Saya di akhir 2016 adalah saya yang berbeda dengan saya di tahun-tahun sebelumnya, seakan versi 2.0, dan itu berawal dari membaca sebuah artikel blog.
Beberapa perubahan seperti berkurangnya OCD (obsesive compulsive disorder) secara signifikan, lenyapnya rasa mengejar kesempurnaan audio (alias audiophile), dan sebagainya, telah sangat dirasakan.
Saya juga terbantu dengan tulisan-tulisan topik lainnya yang saya simpan ke notes maupun saya tulis ulang di blog saya.
Adalah fakta bahwa tulisan-tulisan tersebut menjadi wasilah inspirasi yang menorehkan dampak dalam diri saya.
Maka alangkah wajarnya menurut hemat saya apabila saya pun berharap ada dari tulisan-tulisan saya yang akan ditemukan oleh orang lain yang ternyata memberi impact terhadapnya.
Terakhir, alasan keempat, dengan menulis blog maka saya akan membacanya dan pada akhirnya membiasakan saya untuk membaca.
Beberapa waktu lalu saya ikut test IELTS, untuk nilai IELTS reading saya memperoleh skor 9.0 (skor mentok atas).
Alhamdulillah untuk skor 9.0 itu saya tidak merasa kesulitan memperolehnya.
Saya percaya bahwa angka itu tidak keluar begitu saja, melainkan dari proses banyak membaca sehingga dengan izin Allah bisa baca dengan lebih cepat dan paham.
Berlatih membaca adalah suatu keharusan.
Dengan menulis blog dan melihat blog-blog milik orang lain, saya jadi terbiasa membaca.
Apakah Anda punya blog? Apa alasan Anda menulis blog?
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
1. Seorang Mahasiswa yang Melakukan Apa Saja
Seorang pemuda baru saja diterima di fakultas kedokteran di sebuah kampus favorit. Sebuah kampus yang sejak lama menjadi impiannya. Dia ingin menjadi dokter.
Di awal semester pertama, dia membeli berbagai macam buku kuliah kedokteran dengan penuh riang gembira.
Di dalam hatinya dia membatin “Saya ingin kamar kos saya dipenuhi buku-buku biar saya bisa merasakan secara totalitas bagaimana menjadi seorang mahasiswa di kampus yang sangat bergengsi ini!”
Selain buku-buku, dia juga mencari foto-foto kampus tersebut di internet lalu mencetaknya dan menempelnya di dinding kamar kosnya.
Tak hanya itu, dia pun mengecat kamar kosnya dengan warna yang senada dengan warna almamater kampus tersebut.
Setiap pagi dia joging mengitari area kampus sambil berseru “Aku cinta kampusku!!”.
Dia membeli banyak sekali pot bunga lalu menaruhnya di berbagai sudut kampus. Dilakukannya di malam hari agar tidak ada seorang pun yang melihat.
Sebagai bentuk totalitas, dia bahkan meletakkan pot-pot bunga itu di sudut yang jarang dilewati orang.
Di tempat tersembunyi yang bahkan kucing oren pun tidak pernah lewat situ.
Suatu waktu dia kurang puas dengan pot bunga yang diletakkannya, hemm saya harus bikin rak dari kayu. Kalau bisa sih yang dibuat dari kayu jati biar tahan dalam segala situasi seperti panas terik matahari dan hujan!
Yang selanjutnya dilakukannya adalah dia survei harga rak-rak kayu.
Ternyata kalau dihitung-hitung lumayan mahal jika harus membeli rak yang terbuat dari kayu jati.
Dia pun mulai tekun belajar membuat rak kayu yang bagus. Biar bisa bikin sendiri.
Bukan hanya sekadar belajar sendiri, dia bahkan pergi ke Jepara untuk belajar cara membuat mebel berkualitas.
Setelah 3 bulan intensif belajar membuat mebel, akhirnya dia berhasil membuat beberapa rak kayu dari jati yang digunakan untuk menaruh pot bunga yang disebar di sudut-sudut kampus.
Saat mengecek ATM, dia pun mulai menyadari uang tabungannya telah terkuras cukup banyak karena berbagai pembelian yang dilakukannya.
Dia pun bekerja paruh waktu di minimarket yang buka 24 jam, dia bekerja di shift malam.
Dari uang hasil kerja kerasnya, dia membeli beberapa ikan kecil lalu menebarnya di kolam-kolam ikan yang ada di kampus tersebut.
Banyak sekali hal yang sudah dilakukannya selama semester pertama tersebut.
2. Surat dari Kampus Tercinta
Di akhir semester pertama, di suatu sore dia menerima sepucuk surat dari kampus tercintanya.
Isinya pemberitahuan bahwa dia sudah di drop out alias di-DO alias dikeluarkan dari kampusnya!
Dengan rasa terkejut dia pun datang ke kampus dan menemui pihak rektorat untuk menanyakan alasannya mengapa dikeluarkan dari kampus.
Kenapa, kenapa?? hatinya protes.
Di hadapan Pak Rektor, dia lalu mengeluarkan bukti pembelian beragam produk dan foto-foto aktivitas yang dilakukannya selama ini, mulai dari mengecat trotoar area kampus hingga menanam pohon-pohon pisang di belakang gedung fakultas.
Semuanya telah dilakukannya!
Pak Rektor menjawab, “Kami tak pernah meminta Anda melakukan itu semua. Sama sekali tidak pernah. Kapan kami pernah meminta Anda melakukan itu semua??”
“Sedangkan sebagai mahasiswa Anda wajib mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan ujian. Itulah yang kami minta. Dan itu justru malah sama sekali tidak pernah Anda lakukan.”
3. Akankah Menjadi Debu Beterbangan
Kisah barusan bukanlah kisah nyata. Hanya perumpamaan atau analogi belaka.
Sang pemuda dalam perumpamaan ini memang sibuk, sangat sibuk. Tentu kita semua sepakat bahwa dia seorang yang sangat sibuk.
Akan tetapi ternyata kesibukan yang dilakukannya bukanlah kesibukan yang membawanya pada tujuan.
Bagaimana rasanya jika kita menemui mahasiswa seperti yang diceritakan dalam tulisan ini?
Mungkin kita akan menggeleng-geleng, ada apa ini dengan sang mahasiswa, apa akalnya tidak baik-baik saja?
Sungguh mengherankan, bukan? Kenapa banyak sekali yang dilakukannya tetapi ternyata dia malah tak melakukan hal yang paling penting yaitu mengikuti kegiatan perkuliahan.
Kita terheran-heran jika kisah ini benar-benar ada. Padahal… sebenarnya kisah ini bisa saja kita sendiri juga melakukannya, hanya saja dalam bentuk lain.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Al-Qur’an Surat Az-Zariat ayat 60)
Kemudian ketika menjalani kehidupan di dunia, banyak sekali hal yang dilakukan… yang bisa jadi sebenarnya tak semua dari kesibukan tersebut semakin membawa diri mendekat kepada tujuan hidup.
Barangkali kita merasa teramat lelah oleh kesibukan atau bisa juga merasa telah berprestasi, merasa telah melakukan banyak hal fantastis, hal-hal yang luar biasa.
“Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 23)
Maka, adalah ide yang sangat bagus jika saat ini kita mulai mengevaluasi kembali kesibukan demi kesibukan yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Akankah sudah berada di jalur yang akan membawa kepada tujuan hidup.
Resolusi Ramadhan atau resolusi bulan puasa adalah target-target yang ingin dilakukan atau ingin dicapai di bulan Ramadhan. Tujuan dari menyusun target-target tersebut adalah memastikan bahwa di Ramadan tersebut ada perbaikan diri.
Target tersebut bisa berupa hal-hal yang terukur atau konkret maupun yang tidak bisa diukur.
Contoh resolusi Ramadan yang bisa diukur misalnya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh setiap harinya. Sedangkan contoh yang tidak terukur misalnya menjadi pribadi yang lebih sabar atau menjadi seseorang yang lebih ikhlas.
Haruskah menyusun resolusi Ramadhan?
Ya tidak harus sih.
Selain itu, membuat resolusi semacam ini juga tidak harus ditulis atau ditetapkan. Akan tetapi sebagian orang merasa terbantu untuk diingatkan dengan menyusun harapan-harapan atau target-target serta menuliskannya.
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi ide resolusi Romadhon, yaitu beberapa amalan unggulan yang bisa dijadikan target untuk dilaksanakan.
Inti dari amalan unggulan yang saya muat atau sarankan dalam tulisan ini adalah jika dilihat benang merahnya: amalan yang esensial dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terikat tempat dan waktu di bulan Ramadhan.
Selain itu ada kata kunci lainnya, yaitu: jika memang belum mampu melakukan hal-hal yang besar maka lakukan saja hal-hal kecil terlebih dahulu tetapi konsisten.
Seorang teman pernah bilang, dia bukanlah pelari cepat, tetapi dia tidak pernah mundur ke belakang, konsisten jalan ke depan. Kalimat yang menarik, bukan?
Di dunia ini ada banyak sekali orang-orang luar biasa yang bisa melakukan hal-hal besar. Nah, jika di saat ini kita belum memiliki kesanggupan untuk melakukan hal besar di Ramadhan nanti, jadikanlah hal besar itu adalah konsistensi kita melakukan suatu amalan meskipun amal yang sederhana.
Inilah amalan-amalan tersebut:
1. Menghitung Kesalahan Diri dan Bekal Apa yang Telah Disiapkan untuk Hari Akhir
Di Ramadhan kali ini, mari kita mengingat kembali berbagai kesalahan yang pernah kita lakukan baik yang dilakukan dengan sengaja maupun yang tidak disengaja serta yang tidak mudah begitu saja kita tinggalkan, serta bekal apa yang telah kita persiapkan untuk kematian kita.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18)
Beberapa pertanyaan berikut bisa menjadi bahan atau trigger untuk kita renungkan masing-masing:
Apakah aktivitas sehari-hari kita terbebas dari kezaliman baik terhadap diri sendiri maupun orang lain?
Apakah bisnis yang kita lakukan terbebas dari hal-hal yang Allah haramkan?
Apakah makanan yang masuk ke mulut kita, dibeli dengan uang yang halal?
Apakah urusan kita sering menyebabkan kita melalaikan shalat?
Seberapa sering kita merasa tidak sanggup mengucapkan “tidak” ketika kita harus mengucapkan “tidak”?
Apakah diri kita di masa lalu akan bangga dengan apa yang kita perbuat saat ini?
Itu hanyalah beberapa pertanyaan dari berbagai pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada diri masing-masing.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jujur. Tidak perlu mencari-cari alasan atau pembenaran.
Manusia diciptakan bukanlah untuk tidak pernah berbuat salah sama sekali di dunia ini, karena itu mustahil.
Yang diminta dari manusia adalah mengakui kesalahan, senantiasa bertaubat dan beristighfar, berusaha meninggalkan kesalahan, intinya tiap kali berbuat salah kita berusaha kembali mendekat kepada Allah.
Salah satu momen yang dianjurkan untuk beristighfar adalah saat sahur.
3. Memperbanyak Berdoa
Ini adalah saat terbaik untuk berharap dan berdoa.
Perhatikan rangkaian ayat tentang Ramadhan di Surat Al-Baqarah ayat 183-187, ada 2 hal yang sangat menarik!
Pertama, mari kita perhatikan pesan yang dibawa masing-masing ayat tersebut (ayat 183 hingga 187):
Ayat 183 tentang kewajiban berpuasa.
Ayat 184 tentang keringanan untuk tidak berpuasa dan kewajiban menggantinya di hari lain dan/atau membayar fidyah.
Ayat 185 tentang bulan Ramadhan bulan diturunkannya Al-Qur’an, serta keringanan untuk tidak berpuasa dan kewajiban menggantinya di hari lain.
Ayat 186 Tentang Allah itu dekat dan mengabulkan permohonan (doa).
Ayat 187 Tentang hubungan suami-istri yang dilarang saat berpuasa dan diperbolehkan setelah waktu berbuka.
Perhatikan ayat 183-185 bicara tentang seputar puasa Ramadhan, tahu-tahu terselip ayat 186 yang berbicara tentang dekatnya Allah dan harapan bagi orang yang berdoa. Lalu ayat 187 balik lagi bicara tentang puasa Ramadhan.
Ini menjadi isyarat bahwa doa merupakan amal ibadah yang tidak dapat dilepaskan dari Ramadhan, bahkan peluang dikabulkannya doa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan menjadi lebih besar.
Hal yang menarik kedua adalah redaksi atau pilihan kata di ayat itu. Di depannya ada kata “yas’alunaka” yang maknanya “apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)”.
Jadi begini, di Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggunakan kata “yas’alunaka” atau “jika mereka bertanya kepadamu”, contohnya:
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.’” (Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 85)
” …. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!’” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 220)
dan beberapa ayat lainnya yang berpola sama.
Nah, perhatikan kata yang digarisbawahi, semuanya punya pola “apabila engkau ditanya tentang ‘sesuatu’ maka engkau katakanlah bahwa ‘sesuatu’ itu..”, artinya ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh orang-orang tentang sesuatu maka Allah perintahkan Beliau untuk menjawabnya bahwa sesuatu itu begini dan begitu.
Akan tetapi khusus Surat Al-Baqarah ayat 186 ini ternyata ada perbedaan pola:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 186)
Perhatikan yang digarisbawahi, kali ini polanya “apabila engkau ditanya tentang X maka Aku jawab X itu..”, nah, sudah terlihat kan bedanya?
Ya, benar, polanya berubah, tidak ada kalimat “katakanlah” seperti di ayat-ayat lainnya yang memiliki “yas’alunaka” di dalamnya.
Di ayat ini ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala maka pilihan katanya bukan lagi “katakanlah” melainkan langsung Allah sendiri yang menjawab “sesungguhnya Aku dekat”!
Jadi bukan “katakanlah wahai Muhammad kepada mereka bahwa Aku dekat” melainkan Allah sendiri yang langsung menjawabnya “sesungguhnya Aku dekat”.
Ini memberikan nuansa yang menggugah jiwa bahwa Allah benar-benar dekat kepada hamba-hamba Nya sampai-sampai untuk menyampaikan bahwa Dia adalah dekat itu langsung Allah sendiri yang menjawabnya.
Maka menjadi jelas bulan Ramadhan adalah bulan di mana kita hendaknya meninggikan harapan dan memperbanyak berdoa dengan disertai keinginan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah satu momen terpenting yang sering terlupakan adalah berdoa sebelum berbuka.
Menjelang buka puasa biasanya ada acara TV, ada momen berkumpul bersama keluarga, dan aktivitas lainnya, maka saat itu jangan lupa berdoa.
Di bulan Ramadan mari kita menyediakan waktu untuk berdoa sebelum berbuka.
4. Mengharapkan Kenikmatan Tertinggi di Surga: Memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala Kelak di Akhirat
Sebenarnya ini masih satu paket dengan no 3 yaitu berdoa. Tetapi saya pisahkan ke poin tersendiri karena ada kekuatan di balik berharap meraih kenikmatan tertinggi di surga.
5. Membaca Al-Qur’an
Tidak boleh ada satu hari pun di bulan Ramadhan yang dilalui tanpa membaca Al-Qur’an. Di atas sudah diungkap bahwa Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an (termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 185).
6. Mengeluarkan Harta di Jalan Allah
Bisa dengan memanfaatkan berbagai layanan infaq dan sedekah yang tepercaya untuk menyalurkan infaq dan sedekah, diberikan kepada orang-orang yang memerlukan, menyediakan buka puasa, dan banyak lagi.
Silakan pilih mana yang terbaik yang penting di Ramadhan kali ini mari bersihkan harta kita dengan membelanjakannya di jalan Allah, ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
7. Latihan Fisik
Saatnya mulai merutinkan latihan fisik, biar sedikit yang penting konsisten. Rekomendasi saya adalah plank.
Silakan cari di Google apa itu plank. Ini adalah salah satu latihan fisik yang belakangan ini saya coba tekuni. Sederhana dan tidak perlu bergerak tetapi baik buat memperkuat inti/core tubuh.
Jangan lupa niatkan latihan tersebut untuk mendukung atau meningkatkan kemampuan tubuh kita dalam beribadah.
Nah, itulah 7 resolusi Ramadhan yang saya ajukan dalam tulisan ini.
Yang Harus Diperhatikan Saat Membuat Resolusi Ramadhan
Selanjutnya, ada beberapa hal terkait resolusi Ramadhan yang perlu sama-sama kita perhatikan.
Pertama, pahami tujuan membuat resolusi Ramadhan.
Tujuan membuat catatan amalan-amalan target Ramadhan ini adalah untuk membantu mengingat apa yang harus dilakukan dan menganalisis progres atau perkembangan diri.
Resolusi Ramadan berfungsi sebagai tool atau alat kontrol diri.
Kita tidak bisa membandingkan secara riil tingkat keimanan diri kita di tahun ini dengan tingkat keimanan di tahun lalu. Akan tetapi secara kasar kita bisa membandingkan amalan ibadah tahun ini dengan tahun lalu.
Contohnya, jika di bulan Ramadhan tahun ini seseorang tidak membaca Al-Qur’an sampai tuntas atau khatam padahal tidak memiliki alasan syar’i, sedangkan tahun lalu malah bisa khatam sampai 3 kali, maka dia perlu mencurigai dirinya telah terjadi penurunan keimanan pada dirinya.
Hmm.. mencurigakan sekali, kenapa ya saya sekarang jadi mengantuk tiap kali mau tilawah? Apa ya yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya? Kira-kira seperti itu.
Jadi target tersebut dapat menjadi analisis kondisi keimanan diri secara kasar.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah waspadalah terhadap sombong dan riya.
Ingatlah bahwa tujuan menulis amal tersebut adalah untuk kontrol diri, namun perlu diwaspadai adanya rasa sombong ketika telah berhasil mencapai target-target Ramadhan.
Sombong yang dimaksud adalah memandang remeh orang lain dan merasa lebih baik darinya karena telah melakukan berbagai amal sholeh. Seseorang tidak pernah memiliki hak untuk menyombongkan diri atas amal perbuatan yang dilakukannya.
Melakukan amal kebaikan adalah hidayah taufiq dari Allah, bukan sesuatu yang pantas untuk membuat seseorang menjadi sombong dan memandang remeh orang lain.
Adapun riya, adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan disertai keinginan untuk mendapat pujian atau sanjungan dari orang lain, atau menginginkan sesuatu dari ketaatan tersebut tanpa niat memperoleh keridhaan Allah.
Amalan yang dilakukan bukan ikhlas karena Allah, melainkan karena ingin terlihat sholeh, orang alim, dan sebagainya.
Demi pencapaian tujuan yang diharapkan dari resolusi Ramadhan, maka dalam meraih target-target tersebut seseorang hendaknya selalu mewaspadai munculnya kesombongan dan riya.
Simpan target yang Anda buat dalam hati saja, ditulis di kertas tersembunyi, atau jadikan target keluarga yang hanya bisa dilihat oleh anggota keluarga jika memang dimaksudkan untuk mendidik anggota keluarga untuk menghidupkan hari-hari Ramadhan dengan amal terbaik masing-masing.
Misalnya, seorang ayah atau ibu yang memperlihatkan kepada anak-anak mereka bahwa mereka berdua selama Ramadhan jadi mengaji atau tilawah lebih banyak di banding hari-hari biasanya, dengan harapan anak-anak mereka jadi terbiasa melihatnya dan ingin ikut mengaji dan merasa aneh jika selama Ramadhan jarang mengaji.
Sekian tulisan ini semoga bermanfaat.
Baca juga tulisan lainnya terkait Ramadhan di blog ini:
Kemudian seporsi ayam goreng pun tiba di hadapan saya, akan tetapi masih panas.
Saya tidak suka memakan masakan yang masih panas.
Maka sambil menunggu panasnya berkurang, saya pun mengambil ponsel dari tas dan melihat-lihat akun Facebook saya.
Terpancing Jebakan Debat
Setelah beberapa menit melihat-lihat status orang-orang, mata saya menangkap status seorang teman FB, dia teman satu kampus dulu.
Di status FB-nya dia mengomentari berita viral tadi siang yang masih sangat hangat tentang seorang tokoh yang diduga melakukan skandal.
Meski belum jelas kebenaran kabar tersebut namun teman FB ini dengan mudahnya mengomentari dengan nada nyinyir.
Saya tidak kenal secara pribadi dengan sang tokoh dimaksud, akan tetapi selama ini saya mendapat kesan kalau beliau adalah orang baik-baik.
Entah beliau hanya sedang terbuka aibnya ataukah itu rekayasa, saat itu belum jelas duduk perkaranya.
Saya pun mengomentari status sang teman FB, mencoba mengingatkannya agar tidak menulis seperti itu seolah sudah pasti kebenarannya.
Sayangnya niat baik saya tidak ditangkap dengan baik, justru dia malah semakin menjadi-jadi mengejek sang tokoh.
Sebenarnya saya bukan satu-satunya orang yang berkomentar mengingatkan, beberapa teman saya yang juga temannya pun mengingatkan dirinya.
Namun sang pemilik status tetap bersikeras mempertahankan tindakannya.
Maka terjadilah debat panas.
Kami saling berbalas komentar.
Situasinya sebenarnya begini, sang penulis status FB ini sebenarnya sebelumnya sudah beberapa kali terlibat perdebatan dengan teman-teman saya.
Jadi ketika teman-teman saya tahu saya berdebat dengannya, mereka pun ikutan terjun melibatkan diri.
Setelah beberapa waktu, saya pun mulai merasa lapar.
Lalu saya melihat ke piring dan ternyata.. Ayam goreng saya lenyap!
Waduh, kemana tuh?
Tidak kemana-mana.
Ayam goreng itu telah masuk ke perut saya, hanya saja.. tanpa saya sadari!
Jadi saat tadi saya berdebat, saya memfokuskan pikiran pada layar ponsel dan jalannya pertempuran komentar.
Sedemikian fokusnya sehingga tanpa saya sadari tangan saya telah meraih ayam goreng impian dan melahapnya hingga habis
Ternyata perdebatan tadi telah menguasai pikiran saya.
Ini memalukan.
Atau lebih tepatnya ini menyedihkan.
Ayam goreng tadi mestinya menjadi ayam goreng impian masa kecil yang akhirnya bisa saya beli dengan gaji pertama.
Semestinya malam itu menjadi malam indah berkesan.
Sayangnya saya telah merusaknya.
Saya pun pulang dengan kecewa sekaligus menyesal.
Satu Malam yang akan Terus Dikenang
Meski malam itu terasa berantakan, tetapi pada akhirnya tetap menjadi malam yang bersejarah.
Sebuah sejarah telah tertorehkan, yaitu bahwa mulai malam itu saya akan lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.
Tidak ingin lagi terjebak pada perdebatan semacam itu.
“Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud)
Sang teman FB, saya tak tahu masalah apa yang tengah di hadapinya, apa latar belakang kisah kehidupannya, saya tidak tahu.
Tapi satu hal yang saya tahu: saya tidak ingin lagi terseret dan terlibat dalam perdebatan semacam itu.
Saya kuatir waktu saya yang sangat berharga jadi tersia-siakan.
(1) Mengupayakan yang terbaik akan membantu menenangkan hati (2) Jalan keluar bisa muncul dari mana saja, termasuk yang tidak disangka-sangka (3) Pentingnya beramal untuk bekal kematian (4) Carilah sisi positif dari musibah yang dialami.
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan agar kita senantiasa berusaha memetik hidayah dari kejadian tersebut dan mewaspadai risiko: gagal dapat hidayah.
1. Mengupayakan yang Terbaik akan Membantu Menenangkan Hati
Kami sekeluarga kehilangan ayah kami setelah kami sekeluarga terpapar Covid-19.
Tentu ini menjadi hal yang menyedihkan bagi kami sekeluarga yang mengharapkan ayah bisa lekas pulih.
Sebenarnya saya sendiri pun membayangkan ayah segera sembuh dan bisa kembali duduk di kursi rodanya untuk menonton TV, sekadar berkumpul, maupun ikut shalat berjamaah di rumah dengan anggota keluarga yang lain.
Saya pun membayangkan kami bercerita tentang hari-hari berat yang berhasil kami lalui.
Akan tetapi qadarullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan takdir yang berbeda dengan harapan kami semua, ayah kami meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat di rumah dan 5 hari dirawat di rumah sakit.
Dalam suasana berkabung, ada hal yang membuat kami merasa lebih terbantu untuk merelakan apa yang telah terjadi.
Yaitu bahwa selama ini kami telah berusaha melakukan yang terbaik sejauh yang kami bisa.
Sebab, manusia hanya bisa berikhtiar dengan disertai tawakkal, sedangkan yang menentukan bagaimana hasilnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu saya bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal!” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi)
Selama pandemi ini saya dan keluarga telah berupaya menjalankan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencegah kerumunan, mengurangi aktivitas di luar yang tidak perlu, mencuci tangan, dan lain-lain.
Sehingga tidak menyisakan kata “mestinya”, seperti “mestinya saya tidak melepas masker saat itu”, “mestinya saya tidak ngumpul makan bareng teman-teman saat itu”, dan “mestinya-mestinya” lainnya.
Pintu “mestinya” itu benar-benar tertutup sehingga kami bisa menarik napas panjang kemudian mengatakan: kami telah melakukan yang terbaik yang kami bisa.
Perasaan batin telah melakukan yang terbaik sejauh yang kami bisa, sampai benar-benar mentok, membantu kami untuk mengurangi kesedihan yang kami rasakan.
2. Jalan Keluar Bisa Muncul dari Mana Saja, Termasuk yang Tidak Disangka-sangka
Di saat menjelang tengah malam itu saturasi oksigen ayah mendadak turun ke angka 80-an, ternyata kakak saya beserta suaminya membawakan tabung oksigen sehingga ayah pun bisa segera menggunakannya.
Alhamdulillah di tengah malam itu kakak dan suaminya belum tidur sehingga malam itu dapat kami hubungi.
Setelah itu saya pun merasakan bantuan-bantuan lainnya yang tidak pernah diduga sebelumnya, seperti keberadaan orang-orang baik seperti Bidan Wiwi, tetangga kami yang selama ini beberapa kali datang ke rumah buat mengecek kesehatan ayah saya yang stroke dan diabetes, ternyata setelah kami terkonfirmasi tes PCR terpapar Covid-19 beliau masih tetap berkenan datang ke rumah kami (dengan pakaian APD) untuk membantu memasang infus, memberi obat, dan lain-lain.
Padahal kondisi kami saat itu sedang berisiko tinggi.
Uluran tangan tersebut jelas sangat membantu kami ketika orang-orang di rumah semuanya sedang merasa lemah untuk merawat ayah.
Adanya pinjaman mesin oksigen (oxygen concentrator) dari kantor juga sangat-sangat membantu kami karena tidak perlu lagi mengisi ulang tabung oksigen. Alat tersebut bekerja dengan baik sehingga pernah saturasi oksigen ayah turun ke level 70 kemudian berhasil dinaikkan ke level 92 dalam 1 malam.
Doa dan perhatian dari keluarga dan teman-teman, atasan dan rekan di kantor, alumni SMAN 1 Bekasi, alumni FEUI angkatan 2003, alumni Hiroshima University dan sesama orang Indonesia yang pernah tinggal di Hiroshima, semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, mengirimkan bantuan makanan, vitamin, suplemen, masker, bahkan donasi.
Bahkan Pak Vid Adrison dosen pembimbing skripsi saya yang selama ini saya sudah tidak pernah berkomunikasi dengannya tiba-tiba turut menghubungi saya untuk menanyakan kabar. Saya benar-benar terharu beliau mengkhawatirkan kondisi saya.
Adanya uluran tangan dari para relawan yang menghubungi dan memantau setiap hari melalui Whatsapp dan malah ada bu Ria salah seorang relawan yang malam-malam datang ke rumah menempuh risiko langsung ke zona merah rumah kami untuk membantu memasang kembali selang infus yang lepas. Mereka juga banyak membantu dalam mendampingi pengurusan ayah ke rumah sakit.
Saya tidak sanggup menulis satu-persatu tetapi kami sekeluarga sepakat bahwa kami bisa merasakan betapa ada banyak bantuan yang tidak disangka-sangka.
Sebelum kejadian ini saya alami, saya senantiasa waswas apa yang harus saya dan keluarga lakukan ya jika virus Covid-19 qadarullah mampir ke rumah kami.
Saya tidak sanggup membayangkannya.
Tetapi kenyataannya Allah telah mengirim pertolongan dengan berbagai cara.
Ini menyadarkan saya agar dalam menghadapi persoalan hidup harus selalu merasa yakin bahwa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa terjadi dalam bentuk apa pun dan datang dari arah mana saja, termasuk arah yang tidak disangka-sangka.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (Al-Qur’an Surat At-Talaq ayat 2-3)
3. Pentingnya Beramal untuk Bekal Kematian
Ada momen ketika saya, ibu, dan istri berjuang bertiga untuk merawat diri kami sendiri, merawat ayah (mengganti pakaian, menyuapi air minum, dan lain-lain), serta menjaga kebersihan rumah (mencuci piring dan pakaian, mengepel lantai, menyemprot sanitizer, dan lain-lain).
Padahal kami sendiri juga masih pada lemah.
Saya sendiri merasa bisa pingsan sewaktu-waktu.
Akan tetapi kami tidak bisa berharap saudara-saudara yang lain untuk masuk ke dalam rumah untuk membantu mengganti pakaian ayah, misalnya.
Hal ini karena kondisi kami dan rumah kami yang sedang berisiko tinggi.
Situasi sedang tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam rumah.
Orang-orang hanya bisa membantu sampai pagar rumah saja, atau sesekali masuk ke dalam rumah dengan menggunakan jas hujan, atau mengirimkan donasi ke rekening.
Saat saya terbaring di lantai, saya hanya bisa berdoa dan berikhtiar meminum madu kurma kiriman kakak dan berbagai suplemen lainnya untuk mengembalikan kekuatan.
Ada batasan jelas yang tercipta dengan situasi terpapar Covid-19 ini, sehingga orang tidak bisa dengan mudahnya menghampiri kami untuk menolong kami.
Ini mengingatkan saya tentang kematian, terpikir dalam benak saya bahwa situasi yang saya alami ini adalah spoiler atau bocoran situasi kematian yang akan dialami semua manusia.
Bukankah kelak ketika mati kita tidak bisa mengajak keluarga atau teman untuk ikut menemani masuk ke dalam kubur bersama kita?
Maka, betapa penting menyiapkan bekal amal kebaikan karena pada akhirnya amalan tersebut sajalah yang akan dibawa hingga ke alam kubur.
“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta, dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
4. Carilah Sisi Positif dari Musibah yang Dialami
Sejak ayah kami dimasukkan ke kamar isolasi rumah sakit, kami tidak bisa lagi melihatnya.
Sebelumnya kami sekeluarga telah mendiskusikan 2 pilihan yang perlu diambil ketika kondisi ayah kian memburuk:
Pilihan pertama, membawa ayah ke RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Konsekuensinya kami harus menerima bahwa ayah tidak bisa ditengok selama di ruang isolasi.
Kondisi ayah yang sudah melemah telah membuat kami tersadar bahwa harapan untuk sembuh pun juga tidak bisa terlalu tinggi.
Artinya ada kemungkinan kami tidak berada di sisi ayah di saat-saat terakhir.
Pilihan kedua, merawat ayah di rumah.
Segi positifnya kami bisa mendampingi ayah.
Sedangkan konsekuensinya kami yang positif di rumah dan dalam kondisi tubuh yang lemah dan ngedrop berkali-kali tidak bisa beristirahat sebagaimana seharusnya orang yang melakukan isolasi mandiri.
Dengan kata lain orang sakit merawat orang sakit keras.
Terlebih kondisi ayah yang saat itu sempat berteriak-teriak setiap beberapa menit, selama beberapa hari.
Di samping itu, perawatan di rumah tidak bisa selengkap di rumah sakit.
Dengan kondisi infusan dan selang oksigen yang terlepas berkali-kali, kesulitan menelan makanan dan minuman, sesak napas, dan berbagai masalah lainnya, membiarkan ayah dirawat di rumah saja sama saja membiarkan ayah menderita tanpa penanganan yang paripurna.
Pada akhirnya kami memutuskan pilihan nomor 1 agar perawatan yang diberikan sudah benar-benar yang terbaik, setidaknya lebih baik daripada dirawat di rumah.
Setelah 5 hari dirawat, kondisi ayah terus menurun dan akhirnya beliau meninggal dunia dan dimakamkan sesuai protokol Covid-19.
Dengan protokol tersebut, maka jenazah beliau langsung diberangkatkan dari RS untuk dimakamkan di tempat yang telah ditentukan, yaitu TPU Pedurenan Bekasi.
Proses pengurusan pemakaman demikian mudah sehingga kami pun tersadar, ibu kami pernah bilang selama ini ayah senantiasa mengatakan kelak jika meninggal dunia tidak ingin merepotkan keluarganya.
Dan ternyata dengan meninggalnya ayah di RS tersebut kami merasakan bahwa proses pemakamannya demikian mudah sehingga kami sekeluarga tidak menemui kesulitan sama sekali.
Ini adalah salah satu hal yang menghibur hati kami bahwa harapan ayah untuk tidak menyulitkan keluarganya saat meninggal dunia benar-benar terwujud, masya Allah.
Saat tertimpa musibah, kita harus menggali berbagai hikmah yang ada di dalamnya, termasuk bahwa dengan mengalami musibah maka kita diingatkan kembali untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah.
Saat mengalami berbagai gejala, saya mulai teringat kembali akan kematian dan berjanji untuk melakukan perbaikan diri jika ditakdirkan survive.
Keinsafan tersebut adalah di antara sisi positif yang saya rasakan dari musibah terpapar Covid-19 tempo hari.
“Tidaklah seorang muslim ditimpa sesuatu seperti kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, dan duka-cita karena suatu kejadian, sampai duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menggugurkan dosa-dosanya dengan sebab itu.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
Nah, terkait hadit di atas saya ingin mengajak pembaca blog ini yang baik hatinya, mari kita berusaha memetik hidayah dari apa yang kita alami.
Dan perlu waspada agar tidak mengalami gagal dapat hidayah.
Sejujurnya saya merasa sedih dan miris melihat beberapa orang yang mengalami ujian ini yang bukannya berusaha memulihkan diri dan memperbanyak istighfar, malah menyibukkan diri dengan membaca informasi-informasi hoaks, yaitu informasi-informasi palsu yang sesat lagi menyesatkan.
Sehingga bukannya hati menjadi ikhlas menerima malah menjadi terhasut untuk berpikiran buruk.
Situasi tersebut pastinya berisiko menghambat hidayah.
Mari raih dan jaga erat hidayah, jangan biarkan ia lenyap!
Kesimpulan
Hikmah yang saya tulis dalam artikel ini sebenarnya tidak terbatas hanya 4 poin tersebut di atas.
Akan tetapi karena keterbatasan kemampuan serta tempat, maka saya mencukupkan pada 4 poin itu saja.
Dan yang tak kalah pentingnya, malah menjadi inti dari tulisan ini, saya perlu menyampaikan agar kita senantiasa berusaha memetik hidayah dari kejadian tersebut dan mewaspadai sebuah risiko: gagal dapat hidayah.
Saya akan menulis 9 poin seputar pengalaman saya dan keluarga melakukan isolasi mandiri Covid-19 (akan saya update jika saya menemukan informasi yang saya anggap perlu untuk ditambahkan).
Sebelum bercerita lebih lanjut, paling pertama sekali saya akan mengungkap rujukan yang saya pegang terkait Covid-19.
Kenapa saya merasa perlu menyampaikan ini?
Karena ini akan menyangkut poin ketiga — sebagai salah satu hal paling penting yang ingin saya sampaikan — serta keseluruhan tulisan ini.
Berhubung banyak beredarnya informasi seputar Covid-19 baik yang memiliki dasar maupun tidak atau hoaks (hoax) maka saya membatasi informasi yang saya terima.
Fumio Sasaki seorang penulis gaya hidup minimalis Jepang pernah bilang dalam bukunya yang berjudul Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism, ada beragam informasi membanjiri kita, dengan keterbatasan yang kita miliki hendaknya kita merampingkan dan merapikan benak dari banjirnya informasi tersebut.
Saya tidak punya waktu luang untuk membaca info-info mengenai Covid-19 yang berasal dari sumber yang tidak jelas.
Oleh karena itu rujukan yang saya jadikan pegangan mengenai Covid-19 hanya berfokus pada:
Masing-masing pihak memiliki domain masing-masing yang berkaitan, misalnya:
Pemerintah Pusat menentukan zona warna dan kebijakan-kebijakan.
Satgas Covid-19 memaparkan angka statistik.
MUI menerbitkan fatwa bolehnya vaksin atau tata cara sholat berjamaah di masa pandemi (misalnya bolahnya memakai masker dan menjaga jarak saat shalat berjamaah).
IDI menyampaikan teori terkini mengenai Covid-19.
Dengan demikian pemahaman saya seputar Covid-19 antara lain:
Covid-19 adalah penyakit yang dampaknya terhadap seseorang bisa beragam, ada yang tidak bergejala –benar-benar tidak terlihat tanda-tanda sama sekali, ada yang bergejala baik ringan, sedang, maupun berat bahkan mematikan.
Penyebarannya sangat cepat.
Protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mencuci tangan dilakukan sebagai bentuk ikhtiar.
Vaksin diberikan sebagai salah satu bentuk ikhtiar.
2. Apa yang Saya Rasakan Saat Terpapar Covid-19?
Kemampuan tubuh setiap orang menerima hadirnya virus Covid-19 dalam diri benar-benar beragam.
Ada yang ringan dan malah ada yang merasa tidak mengalami gejala apa-apa, ada juga yang mengalami gejala sedang, dan ada juga yang berat bahkan mematikan.
Saat saya menulis artikel ini, berita duka berdatangan silih berganti baik di group-group Whatsapp maupun melalui pengumuman di masjid-masjid.
Bagaimana dengan saya?
Saya menilai gejala yang saya alami bukan termasuk gejala berat karena tidak sampai membuat saturasi oksigen saya turun, sesak napas, atau bahkan masuk rumah sakit.
Akan tetapi meski demikian apa yang saya alami adalah sesuatu yang sungguh luar biasa buat saya dan keluarga!
Saya tidak akan menulis detail apa yang saya alami, karena saya tidak ingin orang menjadi takut atau panik, lagi pula seperti saya tulis tadi tidak semua orang akan mengalami gejala.
Dan saya sendiri toh berhasil survive juga melalui 14 hari isoman (meski saat menulis tulisan ini masih merasa lemah dan suka kedinginan di sore hari).
Yang bisa saya tulis tentang terpapar Covid-19 yang saya alami:
Saya pernah (a) kejedot ujung tajam jendela sehingga kepala pun dijahit, (b) demam berdarah diopname 5 hari, (c) terluka saat main bola bersama teman-teman di Puncak sehingga di tengah malamnya demam menggigil dahsyat dan saya bersyahadat berulang-ulang karena menduga akan mati, (d) mengalami kebanjiran selama sepekan yang merusak ratusan buku yang saya miliki dan harus membereskan kerusakan yang ditimbulkan. Nah, rasa takut dan desperate yang saya alami saat sakit Covid-19 yang lalu tidak ada bandingannya dengan yang saya alami di kejadian-kejadian yang saya sebut barusan.
Saya menangis berkali-kali. rasanya sudah lama saya tidak menangis seperti ini. Saya takjub, jika gejala ringan saja seperti ini maka apalah lagi gejala berat?
Saat lagi parah-parahnya, meluruskan telunjuk saja saya tidak sanggup. Ada hari di mana anak saya yang berusia 2,5 tahun seharian tidak kami mandikan, bahkan tidak kami ganti bajunya yang ketumpahan bihun, karena simply kami tidak sanggup!
Di awal terkonfirmasi positif melalui tes PCR, saya bertekad untuk menjadikan momen isolasi mandiri sebagai kesempatan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Ternyata apa yang terjadi? Saya kesulitan membacanya karena napas jadi pendek. Kira-kira begini, “bismillaa.. hirrohmaa.. nirrohim” (merasa lelah) “alhamdulilla.. hirobbil.. ‘alamiin” (merasa lelah). Pernah saya meruqyah ayah saya selama 30 menitan setelah itu dada terasa agak sakit.
Selama beberapa hari istri saya hanya bisa tidur, kondisi mengkhawatirkan, dada agak sakit, dan beberapa kali menangis.
3. Terpapar Covid-19 Adalah Momen Berharga untuk Meraih Hidayah Setiap Hari!
Nah, ini bagian yang paling ingin saya ingat dan paling ingin saya share ke para pembaca tulisan ini.
Please, tolong jangan skip tulisan ini..
Saat terkena ujian musibah ini saya lantas memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beristighfar.
Saya juga meminta maaf kepada teman-teman serta meminta didoakan.
Tiap kali ada yang menanyakan saya perlu dibantu apa selalu saya katakan yang paling utama saya memerlukan ampunan maaf atas semua kesalahan saya terhadap mereka dan bahwa saya memerlukan bantuan doa mereka.
Di dalam hati saya berjanji akan merutinkan sholat berjamaah rutin dengan istri, terutama sholat tahajud (di masa pandemi ini saya jarang shalat berjamaah di masjid karena saya tinggal bersama orang tua yang sudah sakit stroke dan diabetes).
Saya juga berjanji akan lebih memperhatikan anak saya.
Ada rasa sedih ketika anak minta digendong seperti biasa tetapi saya tidak bisa melakukannya karena perlu menjaga jarak.
Bahkan anak saya sempat bilang,
“Aku e’e (pup), mama lagi sakit, jadi aku enggak dicebokin.”
yang serta merta membuat kami terkejut karena khawatir sedari tadi anak kami BAB tetapi tidak bilang karena merasa kami orang tuanya sedang tidak sanggup mengurusnya.
Saya berjanji untuk kembali menghafal Juz Amma, serta janji-janji lainnya.
Saya pun tersadar alangkah indahnya jika ujian ini menyadarkan saya!
Saya teringat kisah kaum Ninawa, kaum diutusnya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Yunus ‘Alaihis Salam kepada penduduk kampung (negeri), yaitu Ninawa di wilayah Mushil (Irak).
Beliau berdakwah mengajak penduduk negeri tersebut agar menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, tetapi penduduk negeri tersebut enggan menerima dan tetap dalam kekufuran mereka.
Sehingga akhirnya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam meninggalkan mereka.
Seketika itu mereka pun tersadar bahwa perginya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam meninggalkan mereka merupakan pertanda bahaya bagi mereka, sebentar lagi mereka tentu akan mendapat azab dari Allah.
Maka mereka pun bertaubat dengan sungguh-sungguh dan Allah menyelamatkan mereka dari kehancuran.
“Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu.” (Al-Qur’an Surat Yunus ayat 98).
Tatkala Nabi Yunus ‘Alaihis Salam telah meninggalkan mereka, mereka menyangka bahwa azab yang diperingatkan akan segera diberlakukan.
Maka Allah mengaruniai mereka kesadaran untuk bertaubat ke dalam hati mereka.
Mereka kemudian mengenakan pakaian kasar dan memisahkan setiap ternak dengan anaknya.
Mereka memohon dengan sangat kepada Allah selama empat puluh malam.
Setelah kejujuran taubat mereka terbukti, dan mereka benar-benar menyesal atas apa yang sebelumnya mereka lakukan, maka Allah pun menjauhkan mereka dari azab yang hampir saja menimpa mereka.
Saya pun ingin menjadikan ujian musibah Covid-19 ini sebagai momen penting dalam hidup saya untuk meraih ampunan Allah dan hidayah yang akan bertahan hingga akhir hayat.
Ini adalah momen teramat penting, beberapa orang bahkan mengalami masa kritis alias hampir berpulang, ada juga yang kehilangan anggota keluarganya.
Ini adalah pengalaman yang mahal.
Dari beberapa hadits disebutkan bahwa seorang beriman yang meninggal karena wabah maka dia berpeluang memperoleh pahala syahid.
“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Tetapi syaitan tidak akan tinggal diam mengetahui adanya peluang kedudukan syahid tersebut.
Syaitan akan menghembuskan keraguan, syubhat, fitnah, kesibukan yang tidak berguna ke dalam hati manusia.
Mencari siapa saja yang akan terperosok kepada jebakannya.
Oleh karena itu seseorang yang mengalaminya hendaknya berhati-hati jangan sampai terperosok ke dalam jurang kerugian.
Yaitu ketika mengalami hal krusial ini malah menyibukkan diri dengan membaca atau mendengar informasi-informasi hoax yang sesat lagi menyesatkan, yang tidak jelas sumbernya, tidak jelas kredibilitasnya.
Lebih parah lagi malah mendorongnya untuk menuduh berbagai pihak.
Alangkah ruginya jika gagal memperoleh penghapusan dosa-dosa atau ketika gugur ternyata batal memperoleh pahala syahid.
Di sisi lain ada orang-orang yang jika diberikan kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa gejala ringan atau malah tak bergejala, malah menjadikannya sombong, bukan bersyukur.
Jika itu yang terjadi: sayang sekali, sangatlah rugi.
Saat kita tertimpa musibah terpapar Covid-19, kita bisa memilih ingin menjadikan musibah tersebut sebagai apa.
Saya memilih untuk memetik hidayah dari musibah ini dan tidak membiarkan hilangnya kesempatan memperoleh hidayah yang tak ternilai harganya.
Keputusan ada di tangan saya, Anda, kita, akankah membiarkan terhalangnya hidayah yang mestinya bisa diraih dari ujian musibah ini?
Maka saya memilih meninggalkan informasi yang tidak jelas, tidak mau mempersulit diri, tidak mau menambah dosa dengan prasangka buruk, dan tentu saja: saya ingin memperbanyak istighfar!
4. Segera Melaporkan Diri pada Ketua RT, Ketua RW, atau Satgas Covid-19
Ini penting.
Laporkan segera ke Ketua RT, Ketua RW, Satgas Covid-19, atau puskesmas.
Ini harus dilakukan.
Dengan melaporkan sejak awal kita akan bisa dipantau dan mendapat bantuan atau saran yang diperlukan.
Setelah melapor ke pak Hadi, Ketua RW sekaligus Satgas Covid-19 setempat, saya dihubungi oleh dokter Desi dari Puskesmas Rawa Tembaga Bekasi yang akan memantau perkembangan saya dan keluarga melalui komunikasi Whatsapp.
Saat ayah saya saturasinya turun ke 70, pak Hadi melaporkan ke dokter puskesmas, lalu saat itu juga dr. Desi menelepon saya memberitahu agar ayah saya segera dibawa ke rumah sakit.
Kami sekeluarga merasa ragu apa harus membawa ke rumah sakit karena kondisi bapak yang hanya bisa berbaring karena badannya lemah, sementara dari kabar yang saya dengar IGD penuh sehingga antrian ke kamar rawatnya bisa 1-2 hari.
Namun dr. Desi menyarankan tidak apa-apa menunggu yang penting menunggu di RS sehingga ada yang menangani.
Dalam kondisi lemah memang terkadang kita memerlukan orang yang mengarahkan dengan diksi yang jelas, sehingga meski awalnya ada keraguan, kami sekeluarga pun akhirnya bertekad membawa ayah ke rumah sakit yaitu RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Berhubung ambulans puskesmas sedang fully booked, maka keluarga saya mencari ambulans yang dapat mengangkut ayah.
Alhamdulillah berhasil dapat.
Setelah masuk ke RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi barulah kami sekeluarga mengetahui data medis ayah kami yang terdampak akibat Covid-19, mulai dari gula darah hingga trombosit yang hampir semuanya berada di luar batas normal.
RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi telah berusaha melakukan yang terbaik, meski demikian pada akhirnya qadarullah ayah kami wafat setelah 4 hari berjuang dan dimakamkan di TPU Pedurenan Bekasi.
5. Konsumsi Vitamin C, Vitamin E, dan Berjemur Sinar Matahari
Bu dokter Desi mengontak saya melalui Whatsapp dan menyampaikan agar saya mengonsumsi vitamin C, E, dan berjemur di bawah sinar matahari selama 15 menit setiap jam 8.30 pagi.
Adapun untuk obat-obatan lainnya agar dikonsumsi apabila ada keluhan saja, misal bila batuk minum obat batuk, bila demam minum obat demam.
Untuk kebutuhan vitamin saya berinisiatif membeli paket “Isolasi Mandiri Gold – Paket Sehat” yang merupakan paket bundel Vitamin D 5000 IU dan Zegavit.
Saya tidak sedang mempromosikan produk tersebut, ini hanya sekadar salah satu pilihan paling mudah yang bisa saya peroleh dan tentunya saya menanyakan terlebih dahulu kepada dokter Desi apakah paket vitamin semacam ini sudah dianggap memadai.
Saya sekeluarga juga mengonsumsi beragam madu, jamu, dan herbal, termasuk herbal Rempah PH7 dari Ustadz Adi Hidayat (bila Anda berminat memperolehnya Anda bisa mendaftar online, gratis, hanya perlu mengganti ongkos kirim saja jika ingin dikirim ke rumah — bisa juga mengambil sendiri di Quantum Akhyar Institute).
6. Panggil Tes PCR Mandiri ke Rumah untuk Mengetes Orang yang Tinggal Satu Rumah
Jika memungkinkan, sebaiknya memanggil PCR mandiri ke rumah untuk mengetes orang yang tinggal serumah. PCR mandiri ini lebih cepat keluar hasilnya daripada PCR dari puskesmas.
Lab yang saya gunakan untuk tes PCR pertama yang menunjukkan hasil positif saya adalah Laboratorium Klink PLATINUM.
Sedangkan untuk memanggil ke rumah untuk mengetes anggota keluarga serumah menggunakan Laboratorium Otrismo.
Hasil tes PCR menunjukkan bahwa saya, istri, ibu, dan ayah positif Covid-19.
Sedangkan anak saya yang berusia 2,5 tahun tidak saya tes PCR tetapi kami anggap positif juga karena menunjukkan gejala demam selama 3 hari.
7. Kabari Keluarga, Tetangga, Teman, atau Komunitas
Peran keluarga, tetangga, teman, atau komunitas adalah membantu mengamati perkembangan kita.
Sebab dalam keadaan lemah terkadang kita tidak sanggup memikirkan apa yang dibutuhkan dan bagaimana mendapatkannya.
Ketika isolasi mandiri, semua bantuan apa pun akan terasa berharga. Terlebih kita diharapkan tidak keluar rumah seperti ke ATM, minimarket dan sebagainya.
Oleh karena itu silakan kabari teman-teman atau komunitas yang Anda menjadi anggotanya atau Anda ketahui dapat membantu Anda.
Saya mendapat banyak bantuan dari saudara-saudara, kantor yang meminjamkan mesin oxygen concentrator (menggantikan tabung oksigen yang semula ayah saya pakai, tidak perlu lagi isi ulang tabung!), teman-teman, bahkan teman-teman alumni SMAN 1 Bekasi dan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2003 yang kami sudah sangat jarang bertemu (mereka bahkan mengumpulkan donasi untuk saya!), dan lain-lain.
Kiriman donasi, vitamin, madu, makanan pun berdatangan silih berganti, masya Allah.
Salah seorang teman malah sejak awal saya kabari sudah menanyakan apa golongan darah saya, just in case saya memerlukan darah dia bisa membantu mendonorkan darahnya.
Ini mungkin terdengar menyeramkan, tetapi kenyataannya ada orang-orang yang membutuhkan donor darah karena penyakit ini.
Sehingga saya berterima kasih teman saya mengingatkan saya tentang kemungkinan tersebut.
Bahkan Pak Vid Adrison dosen pembimbing skripsi saya yang selama ini saya sudah tidak pernah berkomunikasi dengannya tiba-tiba turut menghubungi saya untuk menanyakan kabar. Saya benar-benar terharu beliau mengkhawatirkan kondisi saya.
Keluarga kami juga berterima kasih kepada bu bidan Wiwi, tetangga kami yang berbaik hati membantu merawat ayah kami yang semestinya dibawa ke RS namun saat itu kami belum ada yang sanggup melakukannya karena kami terlalu lelah dan sulit berpikir.
Keluarga kami juga banyak dibantu tim relawan seperti Bu Ria, Bu Enden, Bu Nia, Bu Martha dan lain-lain setiap hari saya dan keluarga melaporkan formulir ini melalui Whatsapp kepada tim tersebut:
Tanggal :
Nama : Hasil Antigen/ PCR : Isoman hari ke : Suhu : Nadi : Pernapasan /menit : Saturasi : Keluhan : Obat yg sdg di konsumsi :
Bu Ria bahkan datang malam-malam untuk membantu memperbaiki infusan ayah yang lepas. Ada pak Kiki yang mengantar-jemput isi ulang tabung oksigen. Ditambah lagi dengan peran signifikan bu Martha yang mendampingi ke rumah sakit.
Masya Allah.
Intinya, ketika isolasi mandiri jangan dipendam sendiri, selain melapor ke pihak RT, RW, atau Satgas Covid-19, kabari juga orang-orang terdekat Anda serta orang-orang yang menurut Anda dapat membantu.
Jangan ragu meminta tolong jika memerlukan, berjanji saja dalam hati jika sudah sembuh juga akan melakukan hal yang sama, membantu orang yang sedang terpapar dengan kemampuan yang dimiliki, termasuk berdoa untuk kesembuhan mereka.
8. Hindari Bergerak Terlalu Cepat, Jangan Lupa Mengatur Napas
Saat bergerak untuk mengerjakan aktivitas penting (misalnya mencuci baju, Anda mungkin tetap harus melakukannya) lakukan perlahan dan sambil mengatur napas.
Intinya jangan bergerak terlalu cepat dan jangan lupa mengatur napas.
Situasi yang dihadapi masing-masing orang berbeda-beda.
Ada orang-orang yang saat isolasi mandiri bisa tidur nyenyak, nonton TV, makan enak.
Akan tetapi ada juga orang-orang yang seperti saya dan ibu saya harus tetap full capacity mengelola isi rumah seperti mengepel lantai, menyemprot sanitizer udara, mencuci baju semua penghuni rumah, memantau anak yang demam tiap 5 jam sekali (saat anak saya sedang bergejala), memantau ayah yang terbaring lemah, dan lain-lain.
Kami perlu menjaga kondisi rumah selalu berganti udaranya, rutin berganti seprai dan sarung bantalnya.
Saya tidak mudah beristirahat, saya ingin sekali beristirahat tetapi belum bisa.
Karena jika saya beristirahat maka siapa lagi yang akan mengerjakannya selain saya dan ibu saya yang jika dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya (yaitu ayah dan istri saya) masih lebih baik kondisinya.
Maka di sini kami harus mengatur strategi beraktivitas.
Saya mendapati ketika saya bergerak terlalu cepat maka saya akan lebih cepat lelah (meski dengan bergerak lambat pun saya juga merasa lelah).
9. Pantau Tanda-Tanda Vital
Orang yang melakukan isolasi mandiri (isoman) sebaiknya memiliki oximeter untuk mengukur saturasi oksigen dan nadi.
Saat ayah saya merasa kedinginan saya bisa segera tahu bahwa kadar oksigen di dalam darahnya sedang ngedrop karena saya mengecek dengan oximeter, dari semula 97 menjadi 80 hanya dalam waktu 15 menit!
Saya tidak tahu apa benar saturasi oksigen dapat turun secepat itu tetapi itu adalah pengalaman yang kami lihat sendiri.
Saya mengecek saturasi ayah sebelum saya tidur, angka menunjukkan 97. Baru juga saya rebahan tiba-tiba ayah menggedor-gedor lemari di samping tempat tidurnya, “dingin!” teriaknya.
Ayah menguap berkali-kali, badannya gemetar, dan setelah saya cek saturasinya menunjukkan angka 80.
Selain saturasi oksigen dan nadi, seseorang hendaknya mengukur jumlah napas dalam satu menit.
Data tersebut akan diperlukan untuk berkonsultasi dengan dokter puskesmas yang memantau.
Anak kecil sepertinya memiliki daya tahan yang lebih kuat, karena kami hanya perlu memantau suhu anak kami, begitu mulai naik ke 37 maka kami memberi Tempra Sirup.
Setelah itu alhamdulillah dia akan lari-larian lagi sampai datang demamnya lagi.
Selain Tempra kami juga memberikan Imboost Kids.
Kesimpulan
Ini adalah catatan pribadi saya dalam melakukan isoman.
Saya membuat catatan ini karena ini adalah termasuk momen paling penting dalam sejarah hidup saya dan keluarga saya, sekaligus saya ingin berbagi informasi apa yang perlu dilakukan orang yang baru terpapar Covid-19 baik bergejala maupun tidak.
Saya ingin menjadikan momen tersebut sebagai momen penting di mana setiap harinya saya tersadar betapa lemahnya diri saya sebagai manusia, menyadari kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, dan memperbanyak beristighfar.
Dengan demikian semoga saya memperoleh hidayah Allah di setiap harinya.
Terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dengan doa, kiriman, pendampingan, ampunan maaf, dan lain-lain, yang tidak mampu saya tulis satu per satu.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan yang berlipat.
Sebagai penutup saya memohon maaf bila di dalam tulisan ini maupun blog saya secara keseluruhan ada yang membuat Anda pembaca blog ini merasa kurang berkenan.
Ini adalah timeline atau kronologi kejadian terpaparnya Covid-19 di rumah kami.
Jika 9 poin di atas dibuat berdasarkan poin apa saja yang saya anggap perlu diketahui tanpa urutan timeline, maka saya menambahkan bagian ini untuk menuliskan urutan kejadian yang terjadi di rumah kami (meski tanpa tanggal-tanggalnya):
Ayah sakit batuk-batuk, kemudian demam, lalu tidak doyan makan berhari-hari. Di fase ini ibu juga sakit.
Beberapa hari kemudian saya demam. Saya memutuskan tes antigen untuk diri saya, hasilnya positif.
Tengah malam setelah saya tes antigen, ayah saya berteriak kedinginan, menggigil, saturasi oksigennya turun ke 80, lalu naik lagi ke 92 dengan tabung oksigen.
Paginya saya PCR yang 1 hari jadi, hasilnya saya positif.
Dua hari kemudian ibu, ayah, dan istri PCR yang 1 hari jadi, hasilnya positif semua.
Istri mulai demam.
Beberapa hari kemudian anak saya demam.
Kondisi ayah semakin memburuk, tetapi kami tidak ada yang sanggup membawa ke RS.
Saat saturasi oksigen ayah naik-turun (paling rendah 70, tetapi bisa naik ke 94) dan kondisi semakin memburuk ayah dibawa ke RS.
Setelah 5 hari dirawat di rumah sakit, ayah wafat.
Referensi
Tim Ahli Tafsir di Bawah Pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. (2015). Shahih Tafsir Ibnu Katsir (10 ed., Vol. 4). (A. A. Bashri, Ed., & A. I. al-Atsari, Trans.) Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
Zaidan, D. K. (2016). Hikmah Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an: Dari Nabi Adam-Nabi Isa Alaihimussalam Beserta Kaumnya (6 ed., Vol. 1). Jakarta: Darus Sunnah.
Featured Image: iStock.com / Dannko (Standard License)
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Inilah buku yang bikin saya kesulitan menentukan halaman mana yang mau saya lipat, bagian mana yang mau saya highlight, karena hampir setiap halaman buku ini inspiratif!
Buku tersebut memang buku luar biasa yang menginspirasi para pembacanya.
Nah, dalam tulisan ini saya akan mengulas, mereview, atau menyajikan resensi sebuah buku yang menurut saya even better dari buku karya Marie Kondo tersebut, buku yang menurut saya bahkan lebih dahsyat.
Awalnya saya menemukan buku tersebut di Google Play Books, beberapa bulan setelah saya menemukan buku Marie Kondo.
Kemudian saya membelinya.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Pengalaman Unik Saat Membeli Buku Ini
Mengenai buku terjemahan ini saya punya pengalaman unik.
Waktu itu saya lagi ada business trip ke Semarang.
Saya mampir ke toko buku Gramedia di sana.
Kemudian saya terkesima ketika melihat ada terjemahan buku ini di rak buku.
Wah, sudah ada terjemahannya!
Saya senang karena 2 hal, pertama, akan ada lebih banyak orang yang mengakses buku ini, kedua, harga buku ini pastinya jauh lebih murah ketimbang buku versi bahasa Inggris yang saya beli di Google Play Books.
Ketika saya lagi memegang-megang buku itu, mempertimbangkan buat beli, tahu-tahu ada seorang anak muda yang mendekati saya.
Matanya terlihat antusias saat bilang: “Bagus tuh mas bukunya!”
I know, kata saya dalam hati. “Betul mas, bagus buku ini!” jawab saya.
Dua orang yang antusias dan tidak saling mengenal itu pun saling bertukar cerita.
Ternyata dia punya minat yang sama dengan saya terhadap gaya hidup minimalis.
Bacaan yang disarankan olehnya pun sebagian sudah pernah saya baca.
Obrolan kami nyambung.
Saya tahu apa yang dirasakannya, kira-kira begini, bahwa kita sama-sama tahu ini buku yang bagus, buku yang life-changing, buku yang bikin kita berubah, tetapi.. belum semua orang tahu tentang buku ini!
Maka ketika ada orang yang tampak antusias (yaitu saya) melihat buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sang anak muda itu menghampiri saya dengan mata berbinar seperti mendapat kawan bicara dan berbagi cerita.
Setelah cukup lama ngobrol di depan rak buku, kami berpisah dan saya memasukan buku itu ke dalam tas belanja, menuju kasir.
Saya membeli buku yang sudah pernah saya beli versi bahasa Inggrisnya.
Fumio Sasaki, Penulis Buku Ini, Adalah Seseorang yang.. Biasa Saja
Berbeda dengan Marie Kondo yang memang sudah ada bakat berbenah sejak kecil, Fumio Sasaki hanyalah seorang biasa yang semula tak punya pengalaman berbenah secanggih Marie Kondo.
Di bagian “Prakata”, Fumio Sasaki mengisahkan tentang dirinya.
Saya tulis ringkasannya di sini agar pembaca memperoleh gambaran bahwa Fumio Sasaki adalah seorang yang.. (bersambung).
Silakan baca dulu ringkasan ini nanti saya lanjutkan:
Saat menulis buku adalah seorang pria berusia 35 tahun, lajang, belum pernah menikah.
Bekerja sebagai editor di sebuah penerbit.
Sepuluh tahun sebelum memilih gaya hidup minimalis, dia amat bersemangat untuk bekerja di bidang penerbitan karena ingin memiliki karier di bidang yang memberinya ruang untuk memikirkan gagasan besar dan nilai-nilai budaya, tidak melulu berfokus pada uang dan hal-hal materi lain.
Namun semangat itu perlahan luntur karena industri penerbitan melalui masa sulit, agar bisa bertahan mereka harus menerbitkan buku yang disukai pasar.
Semangatnya mulai padam dan menerima cara pikir bahwa segalanya adalah tentang uang.
Pada saat yang sama dia juga membeli banyak barang karena yakin bahwa segala sesuatu yang dimilikinya akan meningkatkan harga diri dan bikin bahagia.
Namun dia akan merasa rendah ketika membandingkan dengan orang lain yang terlihat lebih sukses.
Maka dia pun merasa tidak tahu bagaimana cara memperbaiki keadaan, tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, menenggak minuman keras, dan tidak bisa merapikan apartemennya.
Akhirnya menyudahi hubungan dengan kekasihnya karena merasa tidak punya masa depan dengan keadaan keuangan yang menyedihkan.
Sampai pada suatu ketika, dia menyingkirkan sebagian besar barang miliknya dan mulai merasakan kebahagiaan.
Dari kisah hidupnya tadi terlihat bahwa Fumio Sasaki adalah seorang yang.. biasa-biasa saja!
Dia bukanlah sosok motivator bisnis, juga bukan seorang yang sukses mengumpulkan kekayaan.
Hanya Seseorang yang Hidupnya Pernah Berantakan, Kemudian Bangkit dengan Menyingkirkan Barang-Barang Miliknya
Dia secara jujur menggambarkan bahwa dirinya seorang yang biasa-biasa saja dan malah pernah mengalami hidup yang berantakan.
Dia hanya sedang menggambarkan melalui bukunya bagaimana bangkit dari situasi tersebut.
Yaitu dengan menyingkirkan barang-barang miliknya.
Setelah merapikan apartemennya, hidupnya secara perlahan mulai terasa membaik.
Melalui bukunya, Fumio Sasaki ingin menyampaikan bahwa memiliki barang dalam jumlah sedikit mengandung kebahagiaan tersendiri, itulah mengapa sudah saatnya kita berpisah dengan banyak barang yang kita punyai.
Apa yang disampaikan Fumio Sasaki adalah apa yang disebut dengan minimalism.
Minimalism menurut Fumio Sasaki adalah:
(1) Proses mengurangi barang kepemilikan kita hingga ke jumlah paling minimum.
(2) Hidup hanya dengan barang-barang itu agar kita dapat berfokus pada hal yang sungguh-sungguh penting bagi kita.
Fumio Sasaki bilang semua orang mengawali hidupnya sebagai minimalis, tak seorang pun yang lahir ke dunia dengan membawa suatu benda.
Kemudian kita ingin memiliki lebih banyak barang, sehingga menghabiskan lebih banyak waktu dan energi untuk mengelola dan mempertahankan benda yang kita punya.
Berusaha mati-matian sampai akhirnya barang yang seharusnya memudahkan justru malah mengendalikan kita.
Salah satu ide besar yang diangkatnya: manusia itu sejak dahulu hingga sekarang kapasitas otaknya sama saja.
Tetapi ketersediaan informasi yang ada di era modern ini semakin meningkat, banjir malah.
Banjir informasi, banjir data, dengan adanya internet.
Maka otak yang kemampuannya sama saja dengan di era 50 atau 100 tahun yang lalu tersebut kini dijejali informasi yang jauh lebih banyak, jauh lebih berlimpah.
Sudah saatnya kita mulai merampingkan dan merapikan benak kita agar bisa memunculkan kembali hal-hal penting yang barangkali sudah terkubur di bawah semua hal lainnya.
Isi Buku Goodbye, Things
Saat membuka halaman pertama buku ini, para pembaca akan menemui foto-foto yang menggambarkan proses Fumio Sasaki menjadi seorang minimalis.
Selain itu ada juga 5 contoh penerapan minimalis beserta foto-fotonya. Contoh pertama tentunya foto-foto apartemen Fumio Sasaki sendiri. Contoh lainnya adalah foto-foto apartemen atau barang-barang milik praktisi gaya hidup minimalis lainnya.
Saya suka melihat foto-foto tersebut, menyegarkan batin.
Di sini saya melihat ada perbedaan antara buku cetak versi terjemahan bahasa Indonesia dengan buku yang dijual Google Play Books versi bahasa Inggris, di mana foto-foto yang ditampilkan di versi bahasa Inggris tersebut tampak lebih jernih dan bikin puas.
Setelah menampilkan foto-foto tersebut, Fumio Sasaki selanjutnya mengulas tuntas dua pertanyaan: “mengapa minimalism?” dan “mengapa kita mengumpulkan begitu banyak barang?”.
Selanjutnya dia memaparkan 55 kiat berpisah dari barang, 15 kiat tambahan untuk selanjutnya dalam perjalanan menuju minimalism, dan 12 hal yang berubah sejak dia berpisah dari barang-barang.
Sebagai penutup, dia mengajak pembacanya untuk merasa bahagia, alih-alih menjadi bahagia.
Ya, buku ini adalah tentang kesyukuran, mensyukuri apa yang ada, apa yang already ada di hadapan.
Hal yang Menarik dari Buku Ini
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya atau hal yang menurut saya menarik dari buku Goodbye, Things ini.
(1) Seperti telah saya ungkit di atas, ada perbedaan tampilan foto-foto yang ada di buku versi Google Play Books dan yang versi cetak terjemahan bahasa Indonesia.
Saya pribadi lebih suka yang versi Google Play Books karena foto-foto yang tampak lebih jernih.
Bahkan saya bisa membaca tulisan tangan Kouta Itou (seorang warga Jepang yang menjalankan gaya hidup minimalis yang menjadi contoh di buku ini) di buku catatan merk Moleskine-nya.
Foto-foto di buku ini sanggup membuat saya tenggelam pada nuansa minimalis saat melihatnya.
(2) Beberapa blog atau website yang disebut dalam buku ini tampaknya tidak semuanya masih hidup atau aktif.
Sebagai seorang penulis blog yang senang mengunjungi blog-blog milik orang lain, saya merasa antusias kalau menemukan link blog orang lain.
(3) Ini menarik sekali. Di Jepang bukanlah hal yang sulit bagi seorang dewasa untuk memperoleh material “dewasa” baik berupa film, majalah, maupun komik.
Di minimarket-minimarket di Jepang, menjadi mudah bagi orang dewasa untuk memperoleh barang-barang semacam itu. Komik “panas” misalnya, ada rak khusus di minimarket yang menyediakannya.
Dijual hampir bebas.
Saya bilang hampir bebas karena yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan membelinya, tetapi yang sudah usia dewasa bebas-bebas aja.
Nah, di tengah kebebasan tersebut ternyata Fumio Sasaki ingin melepaskan diri dari kegemaran menonton video dewasa!
Dia membuang video-video tersebut dari hard drive komputernya. Menurutnya, itulah benda yang paling menuntut keberaniannya untuk dibuang.
(4) Fumio Sasaki mengajak berpikir out of the box. Satu contoh yang dia angkat misalnya tentang kekalahan Jepang di ajang Piala Dunia.
Dia mengajak pembaca bukunya membayangkan Keisuke Honda seorang pemain timnas sepak bola Jepang yang sedang duduk di ruang ganti, kemudian dia menaruh tangan di pundak Honda-san dan berkata:
“Ya sudah. Sekarang memang kalah. Tapi, memangnya kenapa?
Jangan murung.
Kau masih mendapat bayaran ratusan juta dan bisa berkeliling kota mengendarai mobil Ferrari.
Kau pun bisa menggantung sepatu sekarang dan berkeliling dunia.
Saya juga yakin, kau pasti bisa mendapat posisi sebagai pelatih.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masa depan, kan?
Berbeda dengan saya. Jadi, sudahlah, ceria saja.”
Meski substansi yang disampaikan Fumio Sasaki kepada Honda-san pada pertemuan imajinernya make sense, tetapi nyatanya kecil kemungkinan akan ada orang yang menghibur Honda-san dengan komentar itu.
Bagi atlet-atlet sekelas Honda-san, mungkin mereka tidak bisa bahagia kecuali memenangkan kejuaraan.
Padahal meski kalah pun tetap memperoleh kedudukan yang bergengsi dan tentunya uang yang berlimpah.
Ini menarik untuk direnungkan.
Bisakah kebahagiaan didefinisikan secara lebih simpel?
Bisakah Kebahagiaan Didefinisikan secara Lebih Sederhana?
Pertanyaan tadi bikin saya jadi membayangkan 2 buah fenomena.
Fenomena pertama, pernah tidak Anda melihat orang-orang yang sudah kaya raya, memperoleh passive income tiap bulan dari investasinya, kemudian Anda berpikir alangkah nikmatnya hidup mereka?
Melihat apa yang mereka miliki, Anda pun berpikir jika Anda menjadi mereka maka setiap hari bisa beribadah dengan nyaman, bersedekah, berkumpul bersama keluarga, atau mungkin jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di Indonesia atau bahkan dunia.
Tetapi ternyata situasinya tidak selalu seperti itu.
Karena kenyataannya ada juga orang-orang yang tidak pernah berhenti sejenak dan merasa puas dengan apa yang telah dimiliki atau dicapai.
Bukan hanya itu, bahkan sebagian orang melakukan hal-hal lain di luar apa yang ada dalam bayangan Anda tadi.
Yang semestinya tidak masalah jika hal-hal lain tadi adalah hal yang baik untuk dirinya.
Akan tetapi sayangnya dari hal-hal lain tadi tidak semuanya benar-benar baik untuknya.
Misalnya ada yang terus bekerja keras hingga melalaikan ibadahnya atau menelantarkan keluarganya.
Atau ada yang terjun ke dunia politik tapi dengan ambisi yang terlalu besar sampai-sampai menghalalkan segala cara.
Dan hal-hal lainnya yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Nah, fenomena kedua, saya juga jadi membayangkan tentang pernikahan.
Di dalam ajaran Islam pernikahan itu kan sebenarnya relatif mudah dalam hal penyelenggaraan acaranya.
Sebab sejatinya memilih calon suami atau istri ibarat memilihkan ayah atau ibu buat calon anak mereka kelak.
Jangan terbalik, penyelenggaraan acara pernikahannya dibikin rumit, sedangkan memilih calon pasangannya dibikin terlampau mudah.
Terlampau mudah di sini maksudnya sekadar melihat oh dia sudah kerja, oh dia cantik/ganteng ya sudah nikah yuk, tanpa mencari tahu bagaimana ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana kepribadiannya, bagaimana hubungan dengan keluarganya, dan sebagainya.
Kalau punya uang berlimpah tentu bebas-bebas saja bikin acara seperti apa dan berlangsung berapa lama.
Mau bikin pesta beberapa hari silakan saja, mau bagi-bagi handphone kepada tamu undangan silakan saja, asalkan mampu.
Asalkan dibiayai uang halal (kalau haram pastilah pernikahan itu tidak berkah).
Namun jika uang yang dimiliki terbatas, maka lebih baik menyederhanakan pernikahan yang hanya diselenggarakan satu hari saja agar uang yang ada bisa digunakan buat keperluan yang jauh lebih penting dan digunakan berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun, misalnya membeli rumah, kendaraan.
Atau bisa juga buat bulan madu.
Sayangnya tidak sedikit acara pernikahan yang dipaksakan melebihi kemampuan sehingga mestinya tabungannya sudah bisa membeli rumah yang bisa dinikmati bersama malah akhirnya ludes.
Masih mending jika sekadar ludes, tak jarang malah bikin hutang yang sampai bertahun-tahun tak juga berhasil dilunasi.
Padahal secara substansi atau esensi, sudah jelas mana yang terbaik apakah memaksakan kemegahan di hari pernikahan ataukah kenyamanan di hari-hari setelahnya.
Tidak jarang hati kecil seseorang ketika ditanya dan diminta menjawab dengan jujur maka dia akan menjawab lebih baik yang kedua, kenyamanan setelah acara pernikahan.
Tetapi kita tahu pada akhirnya karena satu dan lain hal tak sedikit yang akhirnya memilih yang pertama, bukan?
Habis-habisan di hari pernikahan, urusan selanjutnya lihat nanti sajalah.
Mungkin akan ada di antara pembaca yang tidak sepakat dengan perkataan saya barusan, lebih memilih bermegah-megah untuk acara pernikahan meski harus berhutang sana-sini.
Yah, silakan saja.
Hidup ini merupakan pilihan masing-masing orang yang menjalankannya, dan saya pribadi memilih mengutamakan kenyamanan hidup setelah hari H pernikahan.
Karena saya tahu keterbatasan saya.
Bisakah Kita Menikmati Saja Apa yang Ada?
Fumio Sasaki mengajak berpikir: bisakah kita menikmati saja apa yang ada?
Mendefinisikan kembali kebahagiaan agar lebih simpel dan apa adanya.
Daripada “menjadi” bahagia, dia mengajak para pembacanya untuk “merasa” bahagia dengan apa yang already ada di tangan.
Jujur, ini adalah saran yang diakui kebenarannya tetapi tidak selalu mudah menjalankannya.
Perlu menata hati.
Saya ingin sekali bercerita banyak tentang buku ini, tetapi menurut saya akan lebih baik jika pembaca blog ini membacanya sendiri.
Apa Buku Ini Recommended? Tentu Saja 100%!
Apakah saya merekomendasikan buku ini untuk dimiliki dan dibaca?
Tentu saja!
Apa saya menyediakan link download gratis PDF buku Goodbye, Things ini?
Tidak.
Selain karena menghargai jerih payah penulisnya, harga buku terjemahan bahasa Indonesianya masih relatif murah, masih di bawah seratus ribu rupiah.
Jika menurut Anda saat ini sedang tidak punya uang buat beli buku, barangkali setelah membeli buku ini malah Anda bisa berpikir lebih jernih dalam mengelola keuangan.
Sekian review ini.
Anda pernah membaca buku ini dan merasa terinspirasi?
Dengan review ini saya ingin mendudukkan buku ini pada tempatnya secara proporsional.
Karena berdasarkan pengamatan saya tidak semua hal yang disampaikan buku ini akan cocok diterapkan oleh semua orang.
Tetapi bukan berarti dengan adanya hal-hal yang tidak mudah atau tidak cocok diterapkan semua orang lantas buku ini menjadi tidak berguna.
Buku ini tetap mengagumkan dan bermanfaat.
Dalam menulis review ini, saya merujuk kepada 2 edisi buku ini yaitu:
e-book bahasa Inggris yang saya beli di Google Play Books dengan judul The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing (diterbitkan oleh Ten Speed Press)
Sebelum membahas lebih lanjut, baiknya kita melihat 3 fakta unik buku ini yang benar-benar unik.
Keunikan #1: Judulnya bisa bikin salah paham mengira buku ini hanyalah tentang cara berbenah saja padahal bukan.
Ini adalah buku yang mudah disalahpahami.
Tidak sedikit yang mengira buku ini hanyalah buku tentang cara berbenah rumah saja.
Sesuai judulnya yang ada kata “of Tidying Up” yang artinya merapikan atau berbenah.
Setelah membaca buku ini para pembaca akan menemukan ternyata buku ini bukan sekadar mengajari cara berbenah saja, melainkan juga alasan mengapa harus berbenah dan dampak luar biasa pada diri seseorang yang bisa dialami setelah berbenah.
Keunikan #2: Testimoni yang aneh tidak ada yang bilang setelah berbenah rumah menjadi rapi.
Di bab “Pendahuluan” ada testimoni dari para pembacanya, tetapi ternyata tidak satu pun dari testimoni itu yang bilang rumah menjadi rapi.
Coba deh amati testimoni berikut:
“Selepas mengikuti kursus Anda, saya berhenti bekerja dan memulai bisnis sendiri di bidang yang sudah saya cita-citakan sejak kecil.”
“Kursus Anda mengajarkan kepada saya untuk melihat apa saja yang sungguh saya butuhkan dan apa saja yang tidak saya perlukan. Jadi, saya lantas minta cerai. Sekarang saya merasa jauh lebih bahagia.”
“Seseorang yang ingin saya hubungi baru-baru ini mengontak saya.”
“Mencengangkan bahwa membuang ini itu ternyata menimbulkan perubahan besar dalam diri saya.”
“Berat badan saya akhirnya turun lima kilogram.”
Anda sudah membaca testimoni barusan secara teliti?
Sudah menemukan keanehannya?
Ternyata dampak berbenah yang dialami bisa beragam.
Selain itu, tak seorang pun yang sekadar bilang rumah menjadi rapi saja melainkan juga terjadi dampak lainnya yang bahkan ada yang sampai divorce atau bercerai!
Keunikan #3: Bikin pengin orang lain juga tahu tentang buku ini, membacanya, dan terinspirasi.
Setelah membaca buku ini, saya jadi berharap lebih banyak lagi orang yang mengakses buku ini.
Makanya saya pernah membeli buku ini beberapa copy untuk saya bagikan ke orang-orang terdekat.
Saya percaya saya bukan satu-satunya orang yang merasa terinspirasi.
Rasa ingin berbagi inspirasi buku ini pernah mendorong Dee Lestari, seorang penulis, dalam blognya dia cerita setelah membaca buku ini dia bergegas pergi ke penerbit buat meminta mereka menerbitkan terjemahannya (sumber: deelestari.com/review-the-life-changing-magic-of-tidying-up).
Jika Anda membaca tulisan di blog Dee Lestari tersebut Anda akan menemukan kesan antusiasme yang besar untuk memastikan lebih banyak lagi orang Indonesia membaca buku ini.
3. Tentang Buku Ini dan Penulisnya
Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up ditulis oleh Marie Kondo, seorang perempuan warga negara Jepang.
Sejak usia 5 tahun Marie Kondo mulai membaca majalah interior dan gaya hidup.
Kegemaran itulah yang membuatnya terinspirasi, di usia 15 tahun dia mulai melakukan penelitian serius tentang beres-beres dan pada akhirnya mengembangkan metode KonMari yang berasal dari kombinasi nama depan dan belakangnya.
Sekarang Marie Kondo menjadi seorang konsultan dan menyediakan kursus beres-beres atau berbenah one on one (individual).
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi rumah-rumah dan kantor-kantor kliennya.
Memberi saran kepada orang-orang yang merasa kesulitan beres-beres, orang-orang yang mengalami berantakan lagi berantakan lagi, maupun orang-orang tidak tahu harus memulai berbenah dari mana.
Saat saya membaca buku tersebut di tahun 2016 silam disebutkan antrian waiting list jasa konsultasinya sudah mencapai 3 bulan, mungkin sekarang lebih dari itu.
Menurut websitenya, Marie Kondo pernah diwawancarai dan diulas dalam The New York Times, The Wall Street Journal, The London Times, Vogue, The Late Show with Stephen Colbert, The Ellen Show, serta lebih dari lima puluh program televisi dan radio utama di Jepang.
Di tahun 2015 dia menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh versi majalah Time.
Membaca buku The Life-Changing Magic of Tidying Up seakan mendengar sendiri Marie Kondo bercerita.
Kadang saya dibuat tersenyum-senyum saat dia berkisah menemukan gunungan barang-barang tidak terpakai di rumah kliennya.
Saya mendapat kesan Marie Kondo seorang rendah hati, bersahaja, dan punya misi membebaskan kliennya dari clutter ‘berantakan’.
4. Metode KonMari: Bukan Berbenah Biasa
Marie Kondo mengajak pembacanya berbenah dengan membuang apa yang tidak perlu dan hanya mempertahankan apa yang benar-benar penting.
Dengan menjaga hanya apa yang benar-benar istimewa itulah seseorang akan menemukan dampak ikutan, yaitu perubahan kehidupan yang menjadi lebih baik.
Marie Kondo menamakan metode berbenahnya dengan sebutan KonMari, berasal dari kombinasi nama depan dan belakang dirinya.
Dalam mengulas cara beres-beres tersebut Marie Kondo memulai dengan mengajak pembacanya memahami prinsip atau aturan main KonMari.
Jika membaca buku ini pastikan memahami prinsip tersebut.
Karena jika langsung beranjak ke cara melipat baju misalnya dengan menonton tutorialnya di Youtube, bisa jadi dalam waktu singkat akan mudah melupakan KonMari.
Bukan hanya itu, beberapa orang bilang metode KonMari ini hanya untuk orang kaya saja karena bernuansa gaya hidup minimalis, orang yang sejak kecil hidup susah tak perlu lagi diajari buat gaya hidup minimalis, begitu katanya.
Perkataan tersebut jelas keliru.
Kekeliruan pemahaman tersebut karena tak semua orang benar-benar membaca buku tersebut, hanya membaca sekilas atau langsung menonton video berbenah di Youtube.
Oleh karena itu mari baca dulu bukunya.
Setelah membahas prinsip KonMari, Marie Kondo mengajarkan teknik beres-beres barang-barang spesifik, mulai dari pakaian, buku, kertas, pernak-pernik, barang bernilai sentimental, hingga foto.
Secara garis besar metode KonMari adalah sebagai berikut:
Pilih hanya apa yang akan Anda simpan, buang sisanya.
Terdengar simpel, bukan?
Dan sepertinya saya sudah terbiasa mendengarnya.
Tetapi sebenarnya ini tidak sederhana, bahkan ini menggugah kesadaran.
Perubahan hidup pembaca buku Marie Kondo bermula dari kalimat tersebut.
Selama ini saat berbenah yang saya lakukan hanya membuang sampah, menata ulang, memindah-mindahkan barang, menyapu, mengepel, dan mengelap.
Saya belum pernah menimbang-nimbang barang-barang yang saya kira masih perlu saya simpan.
Saya hanya memindah-mindahkan mereka dan menata ulangnya saja.
Ternyata sebenarnya banyak sekali barang tersimpan yang sebenarnya tidak akan menimbulkan masalah maupun kesedihan jika saya singkirkan, malah sebaliknya meningkatkan kenyamanan batin dengan menyingkirkannya dari tempat tinggal saya.
Urutan beres-beresnya tidak boleh terbalik: mulailah dengan membuang, kemudian rapikan ruangan Anda secara menyeluruh, sekaligus, dalam satu waktu.
Jadi bukan merapikan lalu membuang, melainkan membuang lalu merapikan.
Beres-beres mesti dilakukan sekaligus, siapkan waktu khusus untuk beres-beres secara marathon, jangan mencicil waktu untuk beres-beres.
Karena ini akan berpengaruh pada mental, efek perubahannya akan terasa jika dilakukan dalam satu hari.
Beres-beres dilakukan berdasarkan kategori bukan lokasi.
Jadi bukan membereskan kamar 1, lalu kamar 2, melainkan bereskan semua pakaian di rumah, kemudian bereskan semua buku, kemudian bereskan kertas, dan seterusnya.
Letakkan barang-barang di lantai sesuai kategori, misalnya baju satukan dengan baju saja jangan diletakkan bersama buku.
Ambil barang yang sudah diletakkan di lantai tersebut satu persatu dengan tangan, tanyakan dengan jujur “does it spark joy?” (“apa benda ini membangkitkan kegembiraan pada diri saya?”).
Lalu tanyakan apa barang itu diperlukan saat ini maupun yang akan datang.
Pastikan apa benar-benar akan diperlukan, misalnya jika tidak ada rencana menjual handphone yang saat ini dimiliki maka buang saja kardusnya.
Spark joy kita sendiri yang merasakan.
Marie Kondo mencontohkan selembar kaos berkarakter lucu yang dia beli di tahun 2005 dan disimpan hingga sekarang.
Sebenarnya dia tidak ingin ada orang lain melihatnya memakai kaos tersebut, tetapi dia tetap menyimpannya karena baginya kaos itu spark joy.
Kaos itu memberi kegembiraan kepadanya. Maka tidak masalah tetap menyimpannya.
Yang harus dilakukan hanyalah mempertahankan apa yang spark joy dan membuang yang tidak.
Pastikan tidak ada orang lain melihat saat sedang beres-beres.
Selain itu, jika tidak butuh suatu barang jangan berikan begitu saja ke orang lain hanya demi buru-buru menyingkirkan barang tersebut, kecuali jika dia benar-benar membutuhkannya.
Marie Kondo menjelaskan alasannya di dalam buku.
5. Mengapa Berbenah Bisa Mengubah Hidup Seseorang?
Setelah membaca testimoni di bagian “Pendahuluan” buku The Life-Changing Magic of Tidying Up mungkin kita jadi penasaran bagaimana berbenah bisa mempengaruhi para pembacanya berubah dan mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup, seperti resign dari pekerjaan atau mengakhiri pernikahan.
Kenapa dari sekadar beres-beres rumah bisa bikin orang jadi berani mengambil keputusan besar?
Jawabannya sebagaimana diungkap oleh Marie Kondo:
“Dengan menata ulang rumah kita secara menyeluruh, gaya hidup dan perspektif kita akan ikut berubah drastis. Kehidupan kita niscaya mengalami transformasi besar-besaran.”
“Dengan membereskan rumah, kita sekaligus membereskan urusan dan masa lalu kita.”
Dengan beres-beres seseorang akan menemukan apa yang lebih penting atau yang benar-benar penting.
Metode KonMari membiasakan kita mengevaluasi satu persatu apa yang dimiliki untuk ditimbang apakah semua yang saat ini dimiliki tersebut memberi kegembiraan.
Kita diajarkan untuk bertanya “why?” pada diri sendiri tentang alasan memiliki atau melakukan sesuatu.
Kenapa saya memiliki benda ini?
Kemudian saya menjawab, “karena begini”.
Lalu bertanya lagi, “terus, kenapa perlu begini?”
Lalu saya jawab, “karena begitu”.
Lalu tanya lagi, “memangnya kenapa harus begitu?” dan seterusnya.
Sampai pada akhirnya menemukan apakah yang dimiliki serta apakah yang selama ini dilakukan adalah apa yang benar-benar memancarkan kebahagiaan.
Analisis ini benar-benar bermanfaat, bukan hanya ketika sedang memilih barang melainkan juga ketika akan berbuat atau bertindak serta membuat keputusan.
Kita bisa melihat, tidak sedikit orang yang mengorbankan akhiratnya untuk kepentingan dunianya.
Sungguh merugi, bukan?
Akan tetapi ternyata ada lagi yang jauh lebih merugi dari itu: orang yang mengorbankan akhiratnya untuk kepentingan dunia orang lain.
Itu tak lain disebabkan kegagalan menganalisis apa yang benar-benar penting bagi dirinya.
Dengan beres-beres ala metode KonMari jika punya masa lalu maupun masa kini yang buruk, kita akan membuang masa lalu atau masa kini bersama dibuangnya barang-barang terkait dengan kepahitan tersebut.
Dengan demikian hati akan menjadi lebih lega dan bisa memulai hidup baru dengan semangat baru.
Dengan membuang apa-apa yang tadinya dikira tidak akan sanggup berpisah darinya, pikiran akan menjadi terbuka bahwa ternyata bisa kok membuangnya.
Bisa kok ternyata berpisah dengannya.
Ternyata banyak sekali hal yang sebenarnya bisa ditinggalkan tanpa merugikan sama sekali.
Sehingga ini akan memberi keyakinan pada diri sanggup berubah dengan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan.
Misalnya, keyakinan bahwa seorang perokok berat yang kepikiran ingin berhenti merokok akan bisa berhenti total merokok meski awalnya merasa ragu apa iya bakal bisa berhenti.
Menyingkirkan benda-benda yang tidak menimbulkan ‘joy’ serta dianggap sudah tidak diperlukan lagi dapat menjadi latihan agar bisa menyingkirkan benda-benda serta apa-apa yang jelas-jelas merugikan diri.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
6. Dua Catatan Penting terhadap Buku The Life Changing Magic of Tidying Up
Nah, sekarang bagian yang tidak kalah pentingnya, ada 2 catatan saya terhadap buku ini.
(1) Di buku ini Marie Kondo bilang jangan memodifikasi metode berbenah di buku ini demi menyesuaikan karakter diri.
Menurut Marie Kondo tidak ada pembedaan seperti metode berbenah untuk orang sibuk, metode berbenah untuk orang malas, dan sebagainya, metode buku ini mestinya bisa diterapkan semua orang, malas ataupun rajin, sibuk maupun luang.
Tetapi menurut saya silakan saja memodifikasinya sesuai kebutuhan, selama tetap memenuhi prinsip KonMari.
Marie Kondo menegaskan hanya ada 2 aktivitas yang dilakukan ketika berbenah: membuang dan memutuskan di mana akan menyimpan barang-barang.
Dari kedua aktivitas tersebut, membuang harus dilakukan pertama kali.
Dengan tetap memenuhi 2 aktivitas tersebut, menurut saya ada hal-hal yang bisa dimodifikasi, misalnya cara menyimpan pakaian atau kaos kaki tidak harus seperti yang diajarkan oleh Marie Kondo.
Saat berbenah, saya memodifikasi metode KonMari, misalnya saya tidak melakukan berbenah marathon dalam 1 hari melainkan selama 30 hari.
Meski demikian dalam sebulan itu telah banyak sekali barang-barang milik saya yang telah saya lepaskan kepemilikannya.
Menurut saya, seseorang bisa fleksibel dalam berbenah, yang penting konsisten menuntaskan pekerjaan berbenah sampai akhir.
Untuk memastikan konsistensi tersebut saya menulis catatan barang apa saja yang telah saya singkirkan setiap harinya.
(2) Tidak semua hal dalam buku ini saya sepakati, misalnya tentang menyapa atau membungkuk kepada rumah.
Hal itu mungkin lazim atau biasa di tempat penulis buku tersebut tinggal yaitu Jepang.
Namun demikian sebagai seorang muslim saya memilih untuk mengucap basmalah serta berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika akan memasuki rumah.
Saya juga tidak mengucapkan terima kasih kepada benda-benda yang telah menunaikan tugasnya, melainkan akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi benda-benda tersebut kepada saya.
Buat saya kedua poin catatan ini penting agar bisa menempatkan buku ini pada tempatnya sehingga bisa bermanfaat optimal bagi yang membacanya.
7. Beli, Pinjam, atau Download PDF Gratis Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up?
Saya merekomendasikan Anda untuk membeli buku ini.
Di toko buku, harga buku ini versi terjemahan bahasa Indonesianya tidak sampai 100 ribu rupiah.
Jika memungkinkan sebaiknya beli saja.
Jika merasa belum punya uang untuk membeli buku ini maka siapa tahu justru dengan membaca buku ini pengeluaran bisa menjadi lebih efisien.
Itulah yang saya rasakan.
Jika ada yang bilang, “Nanti dulu deh saya masih ada daftar rencana buku lain yang ingin dibeli,” saya akan bilang “coba dulu baca buku ini”.
Karena siapa tahu setelah membaca buku ini daftar rencana buku yang telah disusun malah jadi direvisi seperti saya sampaikan di awal tulisan ini.
Saya berharap lebih banyak lagi orang yang membaca buku ini dan menemukan perubahan dirinya.
Namun demikian saya tidak menyediakan link atau tautan download PDF buku ini.
Selain karena saya menghargai jerih payah penulisnya yang telah menulis karya luar biasa, harga bukunya juga relatif terjangkau, termasuk murah malah jika dibanding dengan manfaat yang bisa diperoleh.
Dengan mengeluarkan uang buat beli buku The Life-Changing Magic of Tidying Up semoga menjadi bukti kesungguhan ingin mendulang manfaat darinya, benar-benar ingin mengubah hidupnya.
Oh, iya, ada teman yang bertanya memangnya perubahan apa yang saya rasakan setelah berbenah?
Nah, menurut saya perubahan yang akan dialami bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Adapun pada diri saya inilah beberapa perubahan tersebut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).
Sekian review ini, semoga bermanfaat.
Apa Anda juga pernah membaca buku ini dan punya pengalaman yang ingin diceritakan?