Dalam kesempatan kali ini, saya ingin berbagi ide, yaitu “tema” Ramadhan.
Deep Talk with Allah
Sejak beberapa tahun terakhir, saya dan istri menetapkan tema Ramadhan. Tema tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan dengan mempelajari dan memperhatikan apa yang terjadi dalam hidup kami.
Sebelumnya, kami pernah menetapkan tema Ramadhan “Mindful Ramadhan“, yang bermakna kami perlu menyadari bahwa kami tengah berada di bulan Ramadhan. Kesadaran penuh.
Tahun selanjutnya, kami juga pernah menetapkan tema Ramadhan “Point of No Return“, yaitu bahwa kami perlu mengisi Ramadhan dengan rasa urgensi atau kondisi mendesak bahwa seakan itu Ramadhan terakhir kami. Dalam rasa itu, maka tidak ada peluang untuk mundur, harus maju terus dan melakukan yang terbaik.
Di tahun 2024 ini, atau di Ramadhan 1445H, seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, melihat situasi dan kondisi internal dan eksternal, dan mengevaluasi Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, kami menentukan sebuah tema yaitu “Deep Talk with Allah“, yang dapat dimaknai bahwa di Ramadhan kali ini ada urgensi untuk memperbanyak berdoa, memohon, meminta pertolongan, meminta bantuan, meminta apa saja, bermunajat, kepada Allah.
Jargon “deep talk with Allah“ kami pilih karena ada penekanan yang lebih spesifik mengenai apa yang ingin kami improve, yaitu memperbanyak berdoa kepada Allah baik dengan doa-doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits maupun doa yang menggunakan kalimat sendiri, dari lubuk hati terdalam.
Membuat tema, resolusi, jargon, dan sebagainya bukanlah suatu keharusan. Hanya saja menyusun berbagai hal tersebut membantu saya, di tengah keterbatasan diri ini, untuk lebih fokus melakukan apa yang perlu dan dapat saya lakukan.
Beberapa Catatan untuk Ramadhan Kali Ini
Selanjutnya, saya juga ingin berbagi beberapa catatan untuk menjalani Ramadhan kali ini:
(1) Selain jargon “Deep Talk with Allah“, kami juga menetapkan tagline berupa: “Ramadhan-kan hati di mana saja”.
Tagline ini didasari hasil evaluasi kami bahwa selama beberapa tahun terakhir Ramadhan yang kami alami sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Jika dahulu ketika masih single, belum menikah, sangatlah mudah bagi saya buat pergi ke masjid buat sholat tarawih dan itikaf, sehingga bagi saya Ramadhan sangat erat kaitannya dengan aktivitas di masjid tersebut. Saat itu saya merasa bahwa Ramadhan yang berkesan adalah ketika saya selalu bisa pergi ke masjid buat sholat tarawih dan itikaf.
Namun beberapa tahun terakhir saya dan istri mengalami beberapa situasi dan kondisi yang menyebabkan apa yang dahulu biasa kami lakukan menjadi tidak begitu mudah untuk dilakukan, misalnya ketika kami baru punya anak pertama yang masih bayi sehingga perlu perhatian lebih dan kami pun menjadi lelah, kemudian almarhum ayah yang sakit keras, serta tentunya pandemi yang menyebabkan saat itu aktivitas di masjid menjadi dibatasi sementara.
Hal ini menyebabkan saya tersadar bahwa ketika saya sedang kesulitan ke masjid karena suatu keadaan, misalnya ketika saya pulang kerja terkena macet dan jauh dari masjid, maka akan ada rasa kecewa atau down, ada rasa yang kurang.
Tetapi ketika kita sudah menanamkan di dalam pikiran untuk menjadikan Ramadhan di mana saja, yang mana seharusnya memang seperti itu, maka semoga dengan begitu kita akan mencari cara untuk mengisi Ramadhan di situasi dan kondisi apa pun, misalnya ketika terjebak macet maka bisa diisi dengan beristighfar, berdoa, berdzikir, dan sebagainya.
(2) Tahun lalu saya dan istri ingin menyemangati anak kami yang saat itu berusia 4 tahun untuk menjalankan puasa pertamanya, yaitu puasa ala anak-anak yang boleh buka di tengah hari lalu lanjut lagi. Kami menjanjikan membelikannya boneka jika telah berhasil puasa 15 hari. Alhamdulillah anak saya berhasil melakukannya.
Tetapi, di tahun ini kami tidak lagi melakukan hal semacam itu. Karena setelah kami evaluasi, janji semacam itu menyebabkan anak kami ingin lekas buru-buru tiba hari ke-15 Ramadhan atau hari apa pun yang dijanjikan. Yah, namanya juga anak-anak, bukan?
Nah, kami khawatir rasa ingin cepat skip ke hari ke-15 itu dapat menyebabkan anak kami kurang menikmati hari demi hari Ramadhannya, padahal kami inginnya, sih, Ramadhan dijalani dengan penuh suka cita di setiap harinya.
Maka di Ramadhan kali ini, jika ingin memberikan hadiah maka tidak perlu menyebutkan di awal. Malah kami telah membelikan boneka sebelum Ramadhan dan bilang begini, “Nanti kamu sahur sambil main boneka ini ya” dan dia pun jadi tampak antusias.
(3) Ketika berbuka puasa, rasa-rasanya saya ingin menghabiskan banyak sekali makanan. Nah, di tahun ini saya akan mencoba untuk tetap terkendali, karena menjaga pola makan ini juga untuk ikhtiar menjaga kesehatan juga, ya.
Demikian beberapa catatan menyambut Ramadhan 1445H/2024 ini, semoga kita bisa menjalaninya dengan lebih baik dari yang selama ini pernah kita lakukan.
Saya dan para perwakilan negara-negara lain yaitu negara-negara Arab, Afghanistan, Bangladesh, Malaysia, dan beberapa negara lainnya, merancang acara buka puasa bersama yang akan diselenggarakan setiap hari sepanjang bulan Ramadhan di masjid.
Kami sudah rapat sejak beberapa pekan sebelumnya. Juga menata meja-kursi yang dibeli untuk tempat jamaah berbuka puasa. Serta kerja bakti membersihkan ruangan-ruangan masjid. Juga berbelanja bahan makanan.
Saya sangat antusias menyambut Ramadhan.
Saya akan menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya, sesuai rencana. Semua akan berjalan lancar, pikir saya.
Namun apa yang terjadi.. ternyata di malam pertama Ramadhan saat itu saya malah jatuh sakit! Saya pun jadi tidak bisa mengikuti shalat tarawih malam pertama.
Saya malah meringkuk di apato (apartemen), berselimut, dan minum obat flu.
Sejujurnya ada rasa kecewa saat itu. Saya merasa sudah jauh-jauh hari menyiapkan berbagai hal, hanya untuk sakit di hari pertama Ramadhan.
Saat itu saya merasa down.
Tidak lama sih, karena saya segera tersadar, sakit itu, kan, pemberian Allah. Allah yang telah memutuskan agar saya berhenti sejenak dan beristirahat, maka tugas saya adalah menerima dan berusaha untuk sembuh agar bisa beraktivitas kembali.
Hal semacam itu terjadi lagi di tahun 2017, ketika di malam pertama Ramadhan saya terkena macet di jalan, sehingga sejak malam pertama Ramadhan itu target “selalu tarawih berjamaah di masjid sepanjang Ramadhan” sudah tidak terpenuhi.
Skip ke beberapa tahun selanjutnya. Yaitu awal 2020, pandemi Covid-19 hadir menyapa dunia.
Saat itu saya sangat-sangat berharap pandemi segera berakhir sebelum Ramadhan 2020.
Ternyata apa yang terjadi.. pandemi terus berlanjut dan masjid-masjid menghentikan aktivitas berjamaahnya untuk sementara waktu.
Keinginan tarawih berjamaah di masjid dan itikaf 10 hari terakhir pun kandas, karena masjid-masjid meniadakan tarawih berjamaah dan itikaf.
Pandemi terus berlangsung hingga di Ramadhan tahun 2021 pun masih ada pembatasan-pembatasan.
Resolusi Ramadhan yang Insya Allah Bisa Dilakukan Kapan Saja, di Mana Saja
Tarawih, sholat dhuha, sholat berjamaah di masjid, bahkan puasa Ramadhan itu sendiri, tidak bisa saya lakukan ketika saya sakit, atau mendapat musibah semisal rumah kebanjiran, atau ketika saya dalam perjalanan pulang kampung, atau ketika saya terjebak macet di jalan.
Sehingga mesti ada amalan yang insya Allah bisa saya kerjakan kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa pun.
Tahun 2023 lalu saya juga tetap menjalankan resolusi yang sama, dengan menambahkan sedikit update.
Menyusun resolusi semacam ini membantu saya untuk mengingat beberapa amalan yang menjadi fokus saya.
Buku yang akan Menjadi Pendamping Ramadhan Kali Ini
Nah, pada Ramadhan 1445 Hijriah atau Ramadhan 2024 ini, saya kembali menjadikan resolusi tersebut sebagai resolusi yang akan saya jalankan. Hanya saja kali ini ditambah dengan aktivitas pendukung resolusi yang telah saya buat, yaitu: membaca buku.
Saya telah memilih 4 buah buku untuk dibaca saat Ramadhan kali ini.
Ya, hanya 4 buku ini saja, yang insya Allah akan menjadi fokus utama untuk saya baca di Ramadhan tahun 2024 ini.
Mengingat pentingnya buku-buku ini, maka insya Allah saya juga akan menjadikan buku-buku tersebut sebagai buku-buku yang menyertai saya untuk seterusnya.
Buku tersebut yaitu:
1. Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9 (Juz 28-30) oleh tim ahli tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dan diterbitkan oleh Pustaka Ibnu Katsir (cetakan tahun 2006).
Buku Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid ke-9 ini cocok buat yang ingin menghafal, menguatkan hafalan, serta tadabbur Juz Amma atau juz 30 selama bulan Ramadhan.
2. Meneladani Shalat dan Wudhu Nabi yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dan diterbitkan oleh Pustaka Ibnu Umar.
Ini adalah sebuah buku kecil berisi panduan shalat, wudhu, dan hal-hal terkait dengannya.
Tentu saja buku ini bukan satu-satunya buku panduan tentang shalat, itu sudah jelas. Tapi ukuran buku ini yang kecil, ringan, serta mudah di bawa kemana-mana ini, bisa menjadi pegangan esensial sepanjang bulan Ramadhan.
3. Fikih Istighfar yang ditulis oleh Syaikh Ismail Al-Muqaddam dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar (cetakan tahun 2015).
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Ini beberapa hal yang bikin saya merasa nyaman dengan dunia blogging atau menulis blog:
1. Seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadikan saya dan seorang penulis blog lainnya sebagai responden skripsi yang mengangkat topik gaya hidup minimalis.
4. Seseorang yang tertarik berkomentar di tulisan saya tentang buku Goodbye, Things, buku yang life-changing bagi saya, karena dia juga menemukan buku itu, membacanya, dan menindaklanjutinya degan membakar foto-foto masa lalunya agar tak tenggelam dengan masa lalunya yang menurutnya buruk, menyingkirkan sebagian barang-barangnya, hidup sederhana dan bersyukur, dan mengutamakan fungsi daripada gengsi.
Dan interaksi-interaksi lainnya, yang bikin saya betah ngeblog.
Setiap produk teknologi pada umumnya bisa kita manfaatkan oleh kita.
Saya pakai Facebook untuk tetap terkoneksi dengan teman-teman saya, khususnya teman-teman yang sudah jarang berjumpa di dunia nyata. Saya juga pakai Facebook untuk beriklan.
Kemudian, saya juga pakai Youtube, Instagram (meski jarang), dan sebagainya.
Semuanya bisa kita manfaatkan. Semuanya hanya sarana.
Demikian pula blog. Blog pada dasarnya hanya sarana, saya memilih blog sebagai salah satu sarana yang saya ambil manfaatnya.
4 Manfaat Blog bagi Saya
Mengapa saya memilih blog sebagai salah satu sarana yang saya ambil manfaatnya?
Baiklah..
Pertama, menulis di blog membantu saya belajar memformulasikan pikiran dan menyampaikannya dalam susunan kalimat yang sistematis.
Saat membaca halaman demi halamannya saya seakan menemukan inspirasi baru yang belum pernah saya temukan sebelumnya.
Terlebih buku Goodbye, Things, saya coba mencari hal yang bisa digarisbawahi atau distabilo, ternyata tidak bisa, karena setiap halamannya ada pesan penting!
Saya pun menemukan tulisan-tulisan blog lainnya dengan topik serupa, dan tulisan-tulisan tersebut membantu membentuk framework atau kerangka pikir saya yang signifikan berbeda.
Saya di akhir 2016 adalah saya yang berbeda dengan saya di tahun-tahun sebelumnya, seakan versi 2.0, dan itu berawal dari membaca sebuah artikel blog.
Beberapa perubahan seperti berkurangnya OCD (obsesive compulsive disorder) secara signifikan, lenyapnya rasa mengejar kesempurnaan audio (alias audiophile), dan sebagainya, telah sangat dirasakan.
Saya juga terbantu dengan tulisan-tulisan topik lainnya yang saya simpan ke notes maupun saya tulis ulang di blog saya.
Adalah fakta bahwa tulisan-tulisan tersebut menjadi wasilah inspirasi yang menorehkan dampak dalam diri saya.
Maka alangkah wajarnya menurut hemat saya apabila saya pun berharap ada dari tulisan-tulisan saya yang akan ditemukan oleh orang lain yang ternyata memberi impact terhadapnya.
Terakhir, alasan keempat, dengan menulis blog maka saya akan membacanya dan pada akhirnya membiasakan saya untuk membaca.
Beberapa waktu lalu saya ikut test IELTS, untuk nilai IELTS reading saya memperoleh skor 9.0 (skor mentok atas).
Alhamdulillah untuk skor 9.0 itu saya tidak merasa kesulitan memperolehnya.
Saya percaya bahwa angka itu tidak keluar begitu saja, melainkan dari proses banyak membaca sehingga dengan izin Allah bisa baca dengan lebih cepat dan paham.
Berlatih membaca adalah suatu keharusan.
Dengan menulis blog dan melihat blog-blog milik orang lain, saya jadi terbiasa membaca.
Apakah Anda punya blog? Apa alasan Anda menulis blog?
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Yuk, Jalan Kaki 7 Langkah ke Kanan dan ke Kiri!
Yuk, coba sekarang juga, berjalanlah ke arah kanan Anda sebanyak 7 langkah!
…
Sudah?
…
Lalu, sekarang yuk coba juga, berjalanlah ke arah kiri Anda sebanyak 7 langkah!
…
Sudah?
…
Nah, apa yang Anda pikirkan?
Yuk, Jalan Kaki 200 Meter Sekarang Juga!
Sekarang, yuk coba jalan kaki sejauh 200 meter!
Maukah Anda melakukannya SEKARANG JUGA?
Tidak mau?
Kenapa tidak mau?
Wah, kalau saya diajak melakukan seperti itu SEKARANG JUGA, saya tidak mau melakukannya.
Malah bukan hanya untuk jalan kaki 200 meter, sekadar berjalan kaki ke kanan dan ke kiri masing-masing 7 langkah seperti yang saya ajak tadi pun saya sendiri malas melakukannya.
Apa karena hal itu melelahkan?
Tentu saja tidak.
Jalan kaki ke kanan dan ke kiri 7 langkah sama sekali tidak melelahkan bagi orang yang kondisi kesehatan fisiknya baik-baik saja. Begitu juga dengan jalan kaki 200 meter. Tidak melelahkan.
Apa yang Membedakan?
Coba perhatikan, berapa banyak orang di sekitar kita yang saat ini sedang terlihat berjalan kaki dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kemudian kita perhatikan, dengan menggunaan kendaraan yaitu sepeda, motor, mobil, bus, kereta api, pesawat terbang, mereka berpindah lebih jauh lagi. Bisa ratusan kilometer!
Kenapa mereka mau pergi dari satu tempat ke tempat lainnya yang jaraknya lebih jauh, sedangkan Anda yang membaca tulisan ini dan juga saya sendiri tidak berkenan menuruti ajakan sekadar untuk jalan kaki 200 meter sekarang juga?
Apa sih yang membedakan orang-orang itu dengan kita?
Jawabannya adalah tujuan atau purpose.
Kenapa orang-orang mau repot-repot bepergian sekarang juga? Karena mereka lagi punya tujuan.
Misalnya:
Orang yang sekarang sedang berangkat ke kantor punya tujuan “bekerja di kantor”.
Orang yang sekarang sedang berangkat ke kampus punya tujuan “mengikuti kegiatan belajar di kampus”.
Sedangkan kita merasa enggan jika saat ini juga diminta berjalan kaki sejauh 200 meter karena: tidak jelas tujuannya.
“Kenapa saya harus melakukannya?”
“Kenapa saya harus menuruti ajakan untuk jalan kaki 200 meter sekarang juga??” begitu yang ada di dalam pikiran kita.
Karena tujuan ajakannya tidak jelas, maka kita pun tidak berminat melakukannya.
Coba kalau dilengkapi dengan tujuan, misalnya, “Yuk, kita jalan kaki 200 meter sekarang juga ke gerai kopi itu karena mereka lagi ada diskon buy 1 get 1 alias beli 1 dapat 1!”
Wah, bisa jadi penggemar kopi akan semangat untuk bergerak sekarang juga.
Kita pun akan semakin bergerak lebih semangat ketika tujuannya semakin wow, misalnya, “Yuk, sekarang juga siapa yang bisa duluan sampai di gerai kopi Sutarbubuk yang lokasinya 500 meter dari sini, maka akan memperoleh 1 hadiah sepeda gratis untuk 10 pelanggan pertama di hari ini”.
Maka orang akan berlomba ke gerai kopi Sutarbubuk itu demi cepat-cepatan sampai, biar dapat hadiah sepeda.
Jika tadi tidak mau bergerak, sekarang jadi mau. Karena sekarang ada tujuannya.
Karena Tujuan Adalah Pembeda!
Tujuanlah yang menjadi pembeda.
Pagi-pagi kita pergi ke luar rumah meski hujan deras dan genangan air ada di mana-mana, kita tetap berkenan melakukannya ketika kita memiliki tujuan.
Ada yang tujuan keluar rumahnya untuk pergi ke sekolah, ada yang untuk mencari rezeki, ada yang untuk jogging (ya kali aja ada yang jogging di tengah hujan deras he he..).
Sedangkan jika kita tidak punya tujuan untuk keluar rumah, saat pagi hari hujan deras dan tidak ada kewajiban yang sedang menanti, maka boleh jadi kita akan berpikir, hei bukankah lebih baik tetap mendekam di rumah. Malas, ah, keluar rumah.
Dengan tujuan kita jadi punya arah, punya harapan dalam melakukan sesuatu. Sekalipun untuk meraihnya memerlukan effort yang tidak mudah.
Memang, sih, dengan adanya tujuan yang jelas, bukan berarti kita akan selalu bersemangat untuk bergerak melangkah meraih tujuan itu.
Memang, sih, dengan memiliki tujuan yang jelas, langkah kaki kita bukan berarti AKAN LANGSUNG terasa mudah, tidak melelahkan, dan tidak malas.
Akan tetapi tanpa memiliki tujuan yang jelas, langkah kaki kita bahkan akan terasa jauh lebih tidak mudah lagi, jauh lebih melelahkan, dan jauh lebih bikin malas.
Oleh karena itu, memiliki tujuan dalam kehidupan ini menjadi suatu keharusan, agar kita merasa lebih mudah dan lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan.
Nah, coba bayangkan, untuk sekadar berjalan kaki sekarang juga 200 meter saja kita merasa enggan jika tidak punya tujuan, apalagi jika kita tidak punya tujuan hidup.
Padahal, menjalani kehidupan jelas jauh lebih menantang ketimbang sekadar berjalan kaki, bukan?
Nah, sebagai penutup tulisan ini, mari tanyakan pada diri masing-masing apakah kita telah menemukan tujuan hidup di dunia ini?
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
1. Seorang Mahasiswa yang Melakukan Apa Saja
Seorang pemuda baru saja diterima di fakultas kedokteran di sebuah kampus favorit. Sebuah kampus yang sejak lama menjadi impiannya. Dia ingin menjadi dokter.
Di awal semester pertama, dia membeli berbagai macam buku kuliah kedokteran dengan penuh riang gembira.
Di dalam hatinya dia membatin “Saya ingin kamar kos saya dipenuhi buku-buku biar saya bisa merasakan secara totalitas bagaimana menjadi seorang mahasiswa di kampus yang sangat bergengsi ini!”
Selain buku-buku, dia juga mencari foto-foto kampus tersebut di internet lalu mencetaknya dan menempelnya di dinding kamar kosnya.
Tak hanya itu, dia pun mengecat kamar kosnya dengan warna yang senada dengan warna almamater kampus tersebut.
Setiap pagi dia joging mengitari area kampus sambil berseru “Aku cinta kampusku!!”.
Dia membeli banyak sekali pot bunga lalu menaruhnya di berbagai sudut kampus. Dilakukannya di malam hari agar tidak ada seorang pun yang melihat.
Sebagai bentuk totalitas, dia bahkan meletakkan pot-pot bunga itu di sudut yang jarang dilewati orang.
Di tempat tersembunyi yang bahkan kucing oren pun tidak pernah lewat situ.
Suatu waktu dia kurang puas dengan pot bunga yang diletakkannya, hemm saya harus bikin rak dari kayu. Kalau bisa sih yang dibuat dari kayu jati biar tahan dalam segala situasi seperti panas terik matahari dan hujan!
Yang selanjutnya dilakukannya adalah dia survei harga rak-rak kayu.
Ternyata kalau dihitung-hitung lumayan mahal jika harus membeli rak yang terbuat dari kayu jati.
Dia pun mulai tekun belajar membuat rak kayu yang bagus. Biar bisa bikin sendiri.
Bukan hanya sekadar belajar sendiri, dia bahkan pergi ke Jepara untuk belajar cara membuat mebel berkualitas.
Setelah 3 bulan intensif belajar membuat mebel, akhirnya dia berhasil membuat beberapa rak kayu dari jati yang digunakan untuk menaruh pot bunga yang disebar di sudut-sudut kampus.
Saat mengecek ATM, dia pun mulai menyadari uang tabungannya telah terkuras cukup banyak karena berbagai pembelian yang dilakukannya.
Dia pun bekerja paruh waktu di minimarket yang buka 24 jam, dia bekerja di shift malam.
Dari uang hasil kerja kerasnya, dia membeli beberapa ikan kecil lalu menebarnya di kolam-kolam ikan yang ada di kampus tersebut.
Banyak sekali hal yang sudah dilakukannya selama semester pertama tersebut.
2. Surat dari Kampus Tercinta
Di akhir semester pertama, di suatu sore dia menerima sepucuk surat dari kampus tercintanya.
Isinya pemberitahuan bahwa dia sudah di drop out alias di-DO alias dikeluarkan dari kampusnya!
Dengan rasa terkejut dia pun datang ke kampus dan menemui pihak rektorat untuk menanyakan alasannya mengapa dikeluarkan dari kampus.
Kenapa, kenapa?? hatinya protes.
Di hadapan Pak Rektor, dia lalu mengeluarkan bukti pembelian beragam produk dan foto-foto aktivitas yang dilakukannya selama ini, mulai dari mengecat trotoar area kampus hingga menanam pohon-pohon pisang di belakang gedung fakultas.
Semuanya telah dilakukannya!
Pak Rektor menjawab, “Kami tak pernah meminta Anda melakukan itu semua. Sama sekali tidak pernah. Kapan kami pernah meminta Anda melakukan itu semua??”
“Sedangkan sebagai mahasiswa Anda wajib mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas kuliah dan ujian. Itulah yang kami minta. Dan itu justru malah sama sekali tidak pernah Anda lakukan.”
3. Akankah Menjadi Debu Beterbangan
Kisah barusan bukanlah kisah nyata. Hanya perumpamaan atau analogi belaka.
Sang pemuda dalam perumpamaan ini memang sibuk, sangat sibuk. Tentu kita semua sepakat bahwa dia seorang yang sangat sibuk.
Akan tetapi ternyata kesibukan yang dilakukannya bukanlah kesibukan yang membawanya pada tujuan.
Bagaimana rasanya jika kita menemui mahasiswa seperti yang diceritakan dalam tulisan ini?
Mungkin kita akan menggeleng-geleng, ada apa ini dengan sang mahasiswa, apa akalnya tidak baik-baik saja?
Sungguh mengherankan, bukan? Kenapa banyak sekali yang dilakukannya tetapi ternyata dia malah tak melakukan hal yang paling penting yaitu mengikuti kegiatan perkuliahan.
Kita terheran-heran jika kisah ini benar-benar ada. Padahal… sebenarnya kisah ini bisa saja kita sendiri juga melakukannya, hanya saja dalam bentuk lain.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Al-Qur’an Surat Az-Zariat ayat 60)
Kemudian ketika menjalani kehidupan di dunia, banyak sekali hal yang dilakukan… yang bisa jadi sebenarnya tak semua dari kesibukan tersebut semakin membawa diri mendekat kepada tujuan hidup.
Barangkali kita merasa teramat lelah oleh kesibukan atau bisa juga merasa telah berprestasi, merasa telah melakukan banyak hal fantastis, hal-hal yang luar biasa.
“Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 23)
Maka, adalah ide yang sangat bagus jika saat ini kita mulai mengevaluasi kembali kesibukan demi kesibukan yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Akankah sudah berada di jalur yang akan membawa kepada tujuan hidup.
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel yang menggugah dari blog Becoming Minimalist, salah satu blog favorit saya karena artikelnya yang bagus-bagus.
Dalam artikel tersebut sang penulis, Joshua Becker, menceritakan tentang kakeknya, seorang pemuka agama, yang wafat di usianya yang 99 tahun.
Di hari pemakamannya, anak perempuan sang kakek (yang berarti ibunya Joshua) menyampaikan testimoni kepada hadirin:
“Saya ingin kalian semua tahu bahwa ayah saya adalah orang yang sama ketika dia berada di rumah maupun ketika berada di publik (di depan umum/jamaahnya).”
Joshua kemudian menulis bahwa jika dia meninggal nanti, testimoni atau pujian yang dia harapkan diucapkan orang-orang tentang dirinya adalah bahwa dia adalah orang yang alim, baik, ramah, dan sebagainya.
Akan tetapi ada satu testimoni yang dia anggap paling bernilai dibanding itu semua, yaitu:
“Dia adalah orang yang sama di rumah maupun di publik” (“He was the same person at home as he was in public.“)
Kita bekerja keras membuat image baik di publik. Dan hal yang mungkin untuk memalsukan image tersebut.
Akan tetapi ketika Anda pulang ke rumah, dan menghabiskan waktu bersama orang-orang yang sering membersamai Anda, warna sesungguhnya diri Anda akan terlihat.
Betapa banyak orang yang bersinar menyinari orang-orang di luar rumah, tetapi cahayanya tak pernah hadir di rumah sendiri?
Testimoni “Dia adalah orang yang sama di rumah maupun di publik” memiliki makna bahwa Anda menjalankan karakter diri Anda di seluruh relung kehidupan Anda.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah)
Marhardika Gilang, seorang pendiri dan CEO Jetorbit, sebuah provider layanan web hosting yang pernah saya tulis reviewnya di blog ini (klik: “Review Web Hosting Jetorbit dari Pengalaman Pribadi”) menulis sebuah postingan yang sangat singkat di blognya.
Meski teramat singkat, tulisan tersebut sangatlah menarik.
Andaikan hidup ini punya restore point seperti di Windows. Fitur yang bisa membalikan kondisi PC ke tanggal tertentu di masa lampau.
Tanggal berapa kamu ingin membuat life restore point kamu?
Saya jadi tertarik menjawab pertanyaan itu, bila saya bisa kembali ke masa lalu, merestore kehidupan saya, maka ke titik restore mana saya ingin kembali?
Ini jelas pertanyaan imajinasi, tak akan pernah terwujud.
Tetapi meski imajinasi, saya menemukan bahwa dengan mencoba menjawab pertanyaan itu ternyata saya bisa menjadi lebih bersyukur untuk hari ini.
Nah, bagaimana caranya dari menjawab pertanyaan itu jadi bikin kita bisa merasa lebih bersyukur?
Yuk, kita coba.
Di sini mari kita andaikan ada 2 skenario yaitu:
(1) Kembali (restore) ke masa lalu dengan ingatan masa kini tetap terbawa
dan
(2) Kembali ke masa lalu dengan ingatan masa lalu (ingatan saat ini terhapus atau di-restart, balik ulang lagi di titik restore).
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan “ingin kembali ke mana di masa lalu?” dengan kedua skenario tersebut.
1. Kembali ke Masa Lalu dengan Membawa Ingatan Sekarang? Restore ke Tahun 2006
Jika saya bisa kembali ke masa lalu dengan membawa ingatan di hari ini, artinya saya bakal tetap ingat bahwa saya berasal dari masa depan.
Jika demikian skenarionya maka saya ingin restore hidup saya ke tahun 2006, karena sesuatu telah terjadi di tahun 2006, sesuatu yang menjadi masa paling kelam dalam hidup saya sejak lahir hingga saya menulis artikel ini.
Ada kisah menyedihkan yang pernah terjadi di tahun itu dan telah mempengaruhi hidup saya.
Begini ceritanya.
Di masa itu saya punya kebiasaan menulis hal-hal penting yang akan saya lakukan atau lalui di lembaran kertas. Lalu kertasnya saya tempel ke dinding.
Ketika sudah terlaksana atau terlalui, poin-poin aktivitas atau momen yang harus saya lakukan atau yang harus saya lalui itu akan saya coret.
Saya melakukan itu untuk mengingatkan diri saya pada apa yang harus saya lakukan/lalui. Kemudian saya akan menyediakan momen khusus, momen sederhana, untuk sekadar bersyukur apabila saya telah menyelesaikan semuanya atau mencoret semuanya.
Biasanya dengan makan di tempat makan yang istimewa (yang harganya lebih mahal sedikit dari di tempat makan sehari-hari) atau beli jajanan di minimarket lalu dinikmati di malam hari sambil membaca buku novel yang saya pinjam di perpustakaan UI.
Pada saat itu kertas yang saya tempel bertuliskan antara lain ujian-ujian akhir semester, tugas kuliah, dan beberapa tugas-tugas kuliah lain. Jika seluruh poin di kertas tersebut telah dicoret, maka saya bisa menyambut momen liburan akhir semester dengan hati yang tenang, begitu pikir saya.
Saya sudah mencoret semua daftar ujian akhir semester dan tugas kuliah, artinya segala urusan perkuliahan di semester tersebut telah selesai.
Begitu juga dengan daftar aktivitas lainnya, sudah semuanya saya coret. Kecuali, hanya tinggal 1 aktivitas saja yang belum saya coret, artinya belum terlaksana, yaitu acara rapat kerja (raker) sebuah organisasi kampus tingkat fakultas.
Berhubung saya menjadi anggotanya yaitu di Divisi Media, maka saya pun juga akan mengikuti acara raker tersebut.
Setelah acara tersebut, maka saya bisa menutup semester dengan penuh syukur dan bersiap memulai semester baru lagi setelah liburan akhir semester.
Begitu harapan saya.
Tetapi kenyataannya tidak demikian, ternyata ada hal buruk terjadi dalam waktu dekat.
Jadi siang itu, saya pergi ke acara raker. Kami janjian di Stasiun Universitas Indonesia. Ada belasan orang yang berkumpul.
Saat saya tiba, rombongan sudah hampir berangkat berjalan kaki ke arah jalan raya. Dari situ kami akan naik angkot ke lokasi raker yaitu rumah seorang teman kami di sebuah perumahan di Jakarta Selatan.
Saat teman-teman bangkit dari duduk-duduk di stasiun dan mulai berjalan kaki, saya melihat ada alat proyektor milik organisasi yang hampir tertinggal begitu saja di lantai stasiun. Saya pun mengingatkan siapa yang tadi membawa proyektor tersebut agar tidak melupakannya.
Kemudian saya dan teman-teman pun berjalan kaki ke tempat angkot dan naik angkot.
Ini masalahnya, jadi pas saya masuk ke angkot, saya masuk duluan dan dapat duduk di dekat sopir (kursi di belakang sopir). Saya melihat teman saya yang juga sedang masuk dengan memegang tas proyektor itu, lalu saya menawarkan bantuan buat memegangi proyektor tersebut sambil dia masuk. Kemudian saya meletakkan proyektor tersebut di samping kanan saya (di antara dinding angkot belakang sopir dan badan saya).
Sebuah kesalahan besar, karena setelah saya turun, dan kami semua turun, tak ada seorang pun yang ingat kita tadi masuk angkot membawa proyektor!
Yang sayangnya, saya menjadi orang paling terakhir yang memegangnya..
Kami baru tersadar ketika angkot tersebut telah berjalan lagi dan hilang dari pandangan. Proyektor barusan tertinggal di angkot tadi?!
Seketika saya dan satu atau dua orang teman, lupa saya tepatnya, pergi ke pangkalan angkot tersebut di terminal Depok.
Kami menunggu setiap angkot yang datang untuk menanyakan apakah mereka tadi melihat ada tas berisi proyektor yang tertinggal. Semua menjawab tidak melihat.
Setelah cukup lama bertahan di pangkalan angkot dan menanyai satu per satu sopir angkot, kami pun menyadari kecil kemungkinan tas proyektor tersebut bisa ditemukan.
Lagipula apa iya dari sekian penumpang yang ada di dalam angkot tersebut (saat itu yang ada di dalam angkot bukan hanya rombongan saya saja, melainkan juga penumpang lain) tidak ada satu pun yang melihat ada barang tertinggal saat kami turun dari angkot?
Kami pun kembali menuju rumah teman yang menjadi tempat raker tersebut.
Di sana saya sudah tidak bersemangat lagi mengikuti jalannya acara raker yang semestinya menyenangkan.
Pulang dari acara, saya merasa lemas dan sakit. Saya berjalan kaki dengan lunglai menuju kosan.
Beberapa hari kemudian, saya dikontak oleh pengurus untuk membicarakan masalah proyektor tersebut. Apa mungkin saya bisa dan berkenan menggantinya?
Beberapa hari berlalu tampaknya belum ada solusi, sampai kemudian saya kembali dihubungi lagi buat bertemu di masjid dekat kosan.
Di sana saya diajak patungan Rp400.000 untuk mengganti proyektor yang hilang tersebut. Jumlah yang sangat besar buat saya, tetapi saya pun akhirnya menyanggupi.
Saya meminta uang ke ibu saya. Ibu saya pun akhirnya paham mengapa anaknya ini sejak beberapa hari terakhir mendadak berubah jadi pendiam.
Ibu saya memberi uang tersebut, meski akhirnya bertanya juga kenapa kamu harus menggantinya? Memangnya itu kesalahan kamu? Kenapa tidak pernah cerita?
Ya, sebenarnya saya sendiri dari lubuk hati terdalam tidak merasa bersalah, atau setidaknya tidak merasa itu sepenuhnya kesalahan saya. Kenapa? Sebab dalam keberangkatan menuju raker tidak pernah ada pembicaraan untuk menugaskan siapa bertanggungjawab membawa apa.
Saya hanya datang ke Stasiun UI tempat janjian berkumpul.
Di sana pun tidak ada perkataan apa-apa, seakan barang-barang perlengkapan milik organisasi itu dibawa begitu saja oleh teman-teman yang berangkat dari ruang sekretariat. Terbukti bahwa pada saat kami berangkat ke arah jalan raya, tas proyektor tersebut sejak awal sudah hampir tertinggal di stasiun.
Kemudian saat saya naik angkot pun saya hanya membantu memasukkan proyektor ke dalam angkot, yang sayangnya tidak ditagih lagi oleh yang membawa masuk ke angkot. Jadi saya tetap memegangnya.
Sayangnya karena saya menyentuhnya di tengah perjalanan, tidak sejak awal ditugaskan, maka saya pun terlupa bahwa saya sedang membawa proyektor.
Saya yang masih hijau usia saat itu, sedang menikmati masa perkuliahan dan berorganisasi, seketika merasa kecewa.
Saya menduga saat itu nama saya menjadi pembicaraan sebagai orang yang menghilangkan properti milik organisasi.
Bukan hanya kecewa, saya pun merasa kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang, mungkin istilahnya “trust issue“.
Betapa tidak, saya merasa diperlakukan tidak adil, yang sayangnya oleh orang-orang yang saya kenal sebagai orang baik-baik. Tetapi meski baik, kenapa ya tetap juga menagih ganti rugi atas sesuatu yang di luar kontrol semacam itu.
Sejak saat itu hingga kuliah saya lulus, saya benar-benar menjadi orang yang menarik diri dari kehidupan kampus. Saya tak lagi berminat untuk aktif berorganisasi. Saya hanya fokus untuk menikmati waktu sendiri atau bersama teman ngekos.
Padahal sejak SMP saya aktif mengikuti ekstrakulikuler. Malah di masa SMA saya sering menginap di sekolah untuk mempersiapkan acara sekolah seperti peringatan Maulid Nabi.
Seakan saya mati perlahan.
Bayangkan, padahal tadinya hanya item “mengikuti raker” saja yang tersisa untuk dicoret, artinya saya menganggap diri saya sudah 98% menjalankan seluruh misi di kertas aktivitas yang saya buat. Hanya tinggal 2% lagi yaitu mengikuti raker.
Bayangkan, padahal saya sudah hampir dekat dengan momen liburan akhir semester, ternyata situasinya pecah berantakan oleh sesuatu yang tak ada dalam perhitungan saya.
Bila saya bisa me-restore kehidupan saya kembali ke masa lalu, maka saya pikir saya ingin pergi ke masa-masa itu untuk mencegah hal itu terjadi. Sebab setelah itu hari-hari menjadi terasa kelabu, bahkan hingga saya lulus kuliah. Meski perlahan “trust issue” saya mulai pudar.
Tetapi pada akhirnya saya menyadari bahwa saya tidak ingin kembali ke masa lalu. Kenapa? Nanti saya jelaskan.
2. Kembali ke Masa Lalu dengan Ingatan yang Di-Restart? Tidak Mau, ah!
Nah, sekarang, bagaimana jika saya bisa me-restore hidup saya ke masa lalu tetapi ingatan saya juga di-restore atau di-restart ke masa lalu, alias saya bakal melupakan semua yang pernah terjadi di masa depan.
Jika ini situasinya maka jawaban saya adalah: tidak mau.
Kenapa? Karena itu sama saja mengulang hidup saya sekali lagi, sedangkan tidak ada jaminan bahwa jika saya mengulang hidup saya dari titik restore, maka untuk selanjutnya saya akan menjadi orang yang lebih baik lagi.
Bahkan saya juga tidak bisa menjamin saya akan menjadi orang yang sama baiknya dengan yang sekarang.
Bisa jadi malah saya akan menjadi orang yang lebih buruk dari yang sekarang.
Atau malah jauh, jauh lebih buruk dari sekarang.
3. Apa pun Masa Lalu Saya, Saya Menerimanya
Nah, dengan mencoba menjawab pertanyaan imajiner barusan: “jika Pembaca yang baik hati bisa me-restore kehidupan ke masa lalu, Pembaca ingin me-restore ke mana?” Saya jadi menelusuri, mengingat kembali, hal apa di masa lalu yang ingin saya ubah.
Lalu saya pun bertanya kepada diri saya sendiri, memangnya kenapa ingin saya ubah?
Saya pun menjawab, karena itu adalah momen terkelam dalam hidup saya yang ingin saya cegah terjadinya.
Kemudian saya pun tersadar, yah, barangkali benar itu memang momen tergelap dalam hidup saya, tetapi.. SAYA TOH SUDAH MELALUINYA. dan SAYA JUGA TELAH MENGAMBIL HIKMAHNYA.
Hmm, benar juga ya. Ternyata saya pernah melalui masa-masa berat dalam hidup saya dan saya tak pernah bilang itu semua mudah saya lalui, akan tetapi saya telah melalui semuanya. Berkat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berapa banyak masa lalu yang saya rasakan begitu berat?
Misalnya saja, masa-masa saya kelas 3 SMA jurusan IPA, yang saya merasa ternyata mata pelajaran Matematika IPA dan FISIKA adalah 2 pelajaran yang saya paling sulit kuasai, bahkan sampai hari ini saya masih heran bagaimana ya saya kok bisa survive di SMA kelas 3.
Yah, ini sih masalah personal saya saja, tidak berlaku bagi semua orang pastinya, akan tetapi bagi saya Matematika IPA dan FISIKA adalah pelajaran yang lebih sulit daripada seluruh pelajaran di kuliah S1 dan S2 yang pernah saya ambil.
Poinnya adalah pada akhirnya saya ternyata survive melaluinya.
Masa kelam 2006 itu? Saya survive melaluinya.
Masa mengupayakan pernikahan ketika saya khawatir uangnya tidak cukup?
Masa kuliah di Jepang ketika saya harus mengganti topik thesis karena menemukan jalan buntu?
Resolusi Ramadhan atau resolusi bulan puasa adalah target-target yang ingin dilakukan atau ingin dicapai di bulan Ramadhan. Tujuan dari menyusun target-target tersebut adalah memastikan bahwa di Ramadan tersebut ada perbaikan diri.
Target tersebut bisa berupa hal-hal yang terukur atau konkret maupun yang tidak bisa diukur.
Contoh resolusi Ramadan yang bisa diukur misalnya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh setiap harinya. Sedangkan contoh yang tidak terukur misalnya menjadi pribadi yang lebih sabar atau menjadi seseorang yang lebih ikhlas.
Haruskah menyusun resolusi Ramadhan?
Ya tidak harus sih.
Selain itu, membuat resolusi semacam ini juga tidak harus ditulis atau ditetapkan. Akan tetapi sebagian orang merasa terbantu untuk diingatkan dengan menyusun harapan-harapan atau target-target serta menuliskannya.
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi ide resolusi Romadhon, yaitu beberapa amalan unggulan yang bisa dijadikan target untuk dilaksanakan.
Inti dari amalan unggulan yang saya muat atau sarankan dalam tulisan ini adalah jika dilihat benang merahnya: amalan yang esensial dan bisa dilakukan kapan saja tanpa terikat tempat dan waktu di bulan Ramadhan.
Selain itu ada kata kunci lainnya, yaitu: jika memang belum mampu melakukan hal-hal yang besar maka lakukan saja hal-hal kecil terlebih dahulu tetapi konsisten.
Seorang teman pernah bilang, dia bukanlah pelari cepat, tetapi dia tidak pernah mundur ke belakang, konsisten jalan ke depan. Kalimat yang menarik, bukan?
Di dunia ini ada banyak sekali orang-orang luar biasa yang bisa melakukan hal-hal besar. Nah, jika di saat ini kita belum memiliki kesanggupan untuk melakukan hal besar di Ramadhan nanti, jadikanlah hal besar itu adalah konsistensi kita melakukan suatu amalan meskipun amal yang sederhana.
Inilah amalan-amalan tersebut:
1. Menghitung Kesalahan Diri dan Bekal Apa yang Telah Disiapkan untuk Hari Akhir
Di Ramadhan kali ini, mari kita mengingat kembali berbagai kesalahan yang pernah kita lakukan baik yang dilakukan dengan sengaja maupun yang tidak disengaja serta yang tidak mudah begitu saja kita tinggalkan, serta bekal apa yang telah kita persiapkan untuk kematian kita.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 18)
Beberapa pertanyaan berikut bisa menjadi bahan atau trigger untuk kita renungkan masing-masing:
Apakah aktivitas sehari-hari kita terbebas dari kezaliman baik terhadap diri sendiri maupun orang lain?
Apakah bisnis yang kita lakukan terbebas dari hal-hal yang Allah haramkan?
Apakah makanan yang masuk ke mulut kita, dibeli dengan uang yang halal?
Apakah urusan kita sering menyebabkan kita melalaikan shalat?
Seberapa sering kita merasa tidak sanggup mengucapkan “tidak” ketika kita harus mengucapkan “tidak”?
Apakah diri kita di masa lalu akan bangga dengan apa yang kita perbuat saat ini?
Itu hanyalah beberapa pertanyaan dari berbagai pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada diri masing-masing.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jujur. Tidak perlu mencari-cari alasan atau pembenaran.
Manusia diciptakan bukanlah untuk tidak pernah berbuat salah sama sekali di dunia ini, karena itu mustahil.
Yang diminta dari manusia adalah mengakui kesalahan, senantiasa bertaubat dan beristighfar, berusaha meninggalkan kesalahan, intinya tiap kali berbuat salah kita berusaha kembali mendekat kepada Allah.
Salah satu momen yang dianjurkan untuk beristighfar adalah saat sahur.
3. Memperbanyak Berdoa
Ini adalah saat terbaik untuk berharap dan berdoa.
Perhatikan rangkaian ayat tentang Ramadhan di Surat Al-Baqarah ayat 183-187, ada 2 hal yang sangat menarik!
Pertama, mari kita perhatikan pesan yang dibawa masing-masing ayat tersebut (ayat 183 hingga 187):
Ayat 183 tentang kewajiban berpuasa.
Ayat 184 tentang keringanan untuk tidak berpuasa dan kewajiban menggantinya di hari lain dan/atau membayar fidyah.
Ayat 185 tentang bulan Ramadhan bulan diturunkannya Al-Qur’an, serta keringanan untuk tidak berpuasa dan kewajiban menggantinya di hari lain.
Ayat 186 Tentang Allah itu dekat dan mengabulkan permohonan (doa).
Ayat 187 Tentang hubungan suami-istri yang dilarang saat berpuasa dan diperbolehkan setelah waktu berbuka.
Perhatikan ayat 183-185 bicara tentang seputar puasa Ramadhan, tahu-tahu terselip ayat 186 yang berbicara tentang dekatnya Allah dan harapan bagi orang yang berdoa. Lalu ayat 187 balik lagi bicara tentang puasa Ramadhan.
Ini menjadi isyarat bahwa doa merupakan amal ibadah yang tidak dapat dilepaskan dari Ramadhan, bahkan peluang dikabulkannya doa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan menjadi lebih besar.
Hal yang menarik kedua adalah redaksi atau pilihan kata di ayat itu. Di depannya ada kata “yas’alunaka” yang maknanya “apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)”.
Jadi begini, di Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggunakan kata “yas’alunaka” atau “jika mereka bertanya kepadamu”, contohnya:
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.’” (Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 85)
” …. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!’” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 220)
dan beberapa ayat lainnya yang berpola sama.
Nah, perhatikan kata yang digarisbawahi, semuanya punya pola “apabila engkau ditanya tentang ‘sesuatu’ maka engkau katakanlah bahwa ‘sesuatu’ itu..”, artinya ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh orang-orang tentang sesuatu maka Allah perintahkan Beliau untuk menjawabnya bahwa sesuatu itu begini dan begitu.
Akan tetapi khusus Surat Al-Baqarah ayat 186 ini ternyata ada perbedaan pola:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 186)
Perhatikan yang digarisbawahi, kali ini polanya “apabila engkau ditanya tentang X maka Aku jawab X itu..”, nah, sudah terlihat kan bedanya?
Ya, benar, polanya berubah, tidak ada kalimat “katakanlah” seperti di ayat-ayat lainnya yang memiliki “yas’alunaka” di dalamnya.
Di ayat ini ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala maka pilihan katanya bukan lagi “katakanlah” melainkan langsung Allah sendiri yang menjawab “sesungguhnya Aku dekat”!
Jadi bukan “katakanlah wahai Muhammad kepada mereka bahwa Aku dekat” melainkan Allah sendiri yang langsung menjawabnya “sesungguhnya Aku dekat”.
Ini memberikan nuansa yang menggugah jiwa bahwa Allah benar-benar dekat kepada hamba-hamba Nya sampai-sampai untuk menyampaikan bahwa Dia adalah dekat itu langsung Allah sendiri yang menjawabnya.
Maka menjadi jelas bulan Ramadhan adalah bulan di mana kita hendaknya meninggikan harapan dan memperbanyak berdoa dengan disertai keinginan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah satu momen terpenting yang sering terlupakan adalah berdoa sebelum berbuka.
Menjelang buka puasa biasanya ada acara TV, ada momen berkumpul bersama keluarga, dan aktivitas lainnya, maka saat itu jangan lupa berdoa.
Di bulan Ramadan mari kita menyediakan waktu untuk berdoa sebelum berbuka.
4. Mengharapkan Kenikmatan Tertinggi di Surga: Memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala Kelak di Akhirat
Sebenarnya ini masih satu paket dengan no 3 yaitu berdoa. Tetapi saya pisahkan ke poin tersendiri karena ada kekuatan di balik berharap meraih kenikmatan tertinggi di surga.
5. Membaca Al-Qur’an
Tidak boleh ada satu hari pun di bulan Ramadhan yang dilalui tanpa membaca Al-Qur’an. Di atas sudah diungkap bahwa Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an (termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 185).
6. Mengeluarkan Harta di Jalan Allah
Bisa dengan memanfaatkan berbagai layanan infaq dan sedekah yang tepercaya untuk menyalurkan infaq dan sedekah, diberikan kepada orang-orang yang memerlukan, menyediakan buka puasa, dan banyak lagi.
Silakan pilih mana yang terbaik yang penting di Ramadhan kali ini mari bersihkan harta kita dengan membelanjakannya di jalan Allah, ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
7. Latihan Fisik
Saatnya mulai merutinkan latihan fisik, biar sedikit yang penting konsisten. Rekomendasi saya adalah plank.
Silakan cari di Google apa itu plank. Ini adalah salah satu latihan fisik yang belakangan ini saya coba tekuni. Sederhana dan tidak perlu bergerak tetapi baik buat memperkuat inti/core tubuh.
Jangan lupa niatkan latihan tersebut untuk mendukung atau meningkatkan kemampuan tubuh kita dalam beribadah.
Nah, itulah 7 resolusi Ramadhan yang saya ajukan dalam tulisan ini.
Yang Harus Diperhatikan Saat Membuat Resolusi Ramadhan
Selanjutnya, ada beberapa hal terkait resolusi Ramadhan yang perlu sama-sama kita perhatikan.
Pertama, pahami tujuan membuat resolusi Ramadhan.
Tujuan membuat catatan amalan-amalan target Ramadhan ini adalah untuk membantu mengingat apa yang harus dilakukan dan menganalisis progres atau perkembangan diri.
Resolusi Ramadan berfungsi sebagai tool atau alat kontrol diri.
Kita tidak bisa membandingkan secara riil tingkat keimanan diri kita di tahun ini dengan tingkat keimanan di tahun lalu. Akan tetapi secara kasar kita bisa membandingkan amalan ibadah tahun ini dengan tahun lalu.
Contohnya, jika di bulan Ramadhan tahun ini seseorang tidak membaca Al-Qur’an sampai tuntas atau khatam padahal tidak memiliki alasan syar’i, sedangkan tahun lalu malah bisa khatam sampai 3 kali, maka dia perlu mencurigai dirinya telah terjadi penurunan keimanan pada dirinya.
Hmm.. mencurigakan sekali, kenapa ya saya sekarang jadi mengantuk tiap kali mau tilawah? Apa ya yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya? Kira-kira seperti itu.
Jadi target tersebut dapat menjadi analisis kondisi keimanan diri secara kasar.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah waspadalah terhadap sombong dan riya.
Ingatlah bahwa tujuan menulis amal tersebut adalah untuk kontrol diri, namun perlu diwaspadai adanya rasa sombong ketika telah berhasil mencapai target-target Ramadhan.
Sombong yang dimaksud adalah memandang remeh orang lain dan merasa lebih baik darinya karena telah melakukan berbagai amal sholeh. Seseorang tidak pernah memiliki hak untuk menyombongkan diri atas amal perbuatan yang dilakukannya.
Melakukan amal kebaikan adalah hidayah taufiq dari Allah, bukan sesuatu yang pantas untuk membuat seseorang menjadi sombong dan memandang remeh orang lain.
Adapun riya, adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan disertai keinginan untuk mendapat pujian atau sanjungan dari orang lain, atau menginginkan sesuatu dari ketaatan tersebut tanpa niat memperoleh keridhaan Allah.
Amalan yang dilakukan bukan ikhlas karena Allah, melainkan karena ingin terlihat sholeh, orang alim, dan sebagainya.
Demi pencapaian tujuan yang diharapkan dari resolusi Ramadhan, maka dalam meraih target-target tersebut seseorang hendaknya selalu mewaspadai munculnya kesombongan dan riya.
Simpan target yang Anda buat dalam hati saja, ditulis di kertas tersembunyi, atau jadikan target keluarga yang hanya bisa dilihat oleh anggota keluarga jika memang dimaksudkan untuk mendidik anggota keluarga untuk menghidupkan hari-hari Ramadhan dengan amal terbaik masing-masing.
Misalnya, seorang ayah atau ibu yang memperlihatkan kepada anak-anak mereka bahwa mereka berdua selama Ramadhan jadi mengaji atau tilawah lebih banyak di banding hari-hari biasanya, dengan harapan anak-anak mereka jadi terbiasa melihatnya dan ingin ikut mengaji dan merasa aneh jika selama Ramadhan jarang mengaji.
Sekian tulisan ini semoga bermanfaat.
Baca juga tulisan lainnya terkait Ramadhan di blog ini:
Nah, baru-baru ini saya mendapat sebuah inspirasi yang ingin saya bagi kepada pengunjung blog ini, yang saya peroleh dalam proses memilih theme.
Jadi saya sempat menghabiskan waktu cukup lama untuk memilih-milih theme apa yang akan saya pakai di blog ini.
Untuk memastikan blog ini memberi pengalaman terbaik bagi para pengunjungnya, saya mencoba beragam theme dan mengujinya dengan cara melihatnya di komputer dan telepon seluler (ponsel) lain selain komputer dan ponsel milik saya.
Saya merasa sedikit lelah karena menemukan fenomena betapa desain blog yang tampak nyaman dan indah di komputer dan ponsel saya, ternyata selalu tampak berkurang keindahannya ketika di buka di 2 ponsel lain yang saya jadikan sampel, yaitu ponsel milik ibu saya dan istri saya.
Sesekali saya juga meminta teman-teman membuka blog saya dari ponsel maupun komputer mereka dan mengabari bagaimana desain dan kecepatannya.
Umumnya mereka bilang oke dan kecepatannya baik-baik saja.
Sementara di 2 ponsel yang sering saya jadikan sampel, blog saya tampak kurang memenuhi ekspektasi apa pun template atau theme yang saya gunakan.
Apa pun desain yang saya pilih saya selalu merasa ada yang kurang.
Ternyata Masalahnya Ada pada Layar Handphone
Setelah berhari-hari melakukan riset dan uji coba mencari theme yang terbaik, akhirnya saya menemukan satu kenyataan yang baru saya sadari.
Ternyata masalahnya bukan pada desain yang saya pilih.
Ternyata masalahnya ada pada handphone yang saya jadikan sampel!
Ponsel istri saya layarnya retak.
Sedangkan ponsel ibu saya layarnya dipasang screen protector atau pelindung layar yang tampaknya tidak cocok dipasang di ponselnya sehingga tampak redup, tidak jernih.
Dengan layar yang retak dan pelindung layar yang kusam, sebagus apa pun tampilan desain blog yang muncul di ponsel saya (Samsung M21 dengan layar yang menyejukkan mata dan hati) akan selalu terdegradasi ketika dilihat di 2 ponsel yang retak dan layarnya kurang jernih karena pelindung layar tersebut.
Bukan hanya blog saya, melainkan juga website lainnya pun jadi berbeda antara yang terlihat di handphone saya dengan yang terlihat di handphone tersebut.
Bagaikan Hati
Apa yang saya temukan dari cerita tentang layar ponsel ini sebenarnya seperti analogi “hati manusia”.
Bila hati seseorang sakit maka dia tidak bisa melihat kebaikan dari apa yang ada di sekelilingnya, semuanya akan tampak buruk.
Dia akan menjadi orang yang banyak mengeluh dan tak pandai bersyukur.
Pernahkah Anda melihat orang yang mengeluhkan semua yang ada di sekelilingnya atau mengkomplain semua yang diperolehnya?
Atau malah.. Anda pernah menjadi orang tersebut?
Dalam hidup ini tidak semua hal yang kita jumpai akan baik-baik saja, terkadang kita menemukan hal-hal yang tidak kita sukai, bukan?
Akan tetapi kita perlu curiga atau waspada terhadap diri sendiri jika kita merasa semua yang ada di sekitar kita buruk semuanya.
Sebab jangan-jangan ternyata masalahnya ada pada diri kita sendiri.
Barangkali masalahnya bukan pada apa-apa yang ada di sekeliling kita, bukan kehidupan yang kita alami, juga bukan orang-orang yang menyertai kita.
Barangkali masalahnya ada pada hati kita yang sulit melihat kebaikan.
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Hari itu sebenarnya saya membawa bekal makan siang mi goreng ke tempat kerja.
Sayangnya saya lupa.
Saya baru ingat ketika di sore hari saya mencari sesuatu di dalam tas, lalu melihat ada kotak makan siang.
Saya pun membuka kotak bekal, tampaknya mi goreng yang dibuat sejak subuh itu mulai basi.
Saya mencicipinya buat memastikan.
Ternyata benar, beberapa bagian mi goreng itu basi.
Mestinya saya membuangnya saja..
Akan tetapi saat itu ada rasa penyesalan karena bisa-bisanya saya melupakan makanan favorit saya, yang bagi saya itu setara dengan sambel cumi, rendang, dendeng sapi, atau udang balado.
Selain itu sayang juga jika makanan tersebut dibuang sementara di tempat lain banyak orang yang kelaparan.
Maka.. saya pun nekat melahap mi goreng basi tersebut. Seutuhnya!
Setelah menghabiskan mi goreng tersebut, saya melanjutkan pekerjaan.
Setelah itu pulang ke rumah naik bus.
Di perjalanan, bus yang saya tumpangi terjebak macet.
Sebenarnya kemacetan itu bukan hal yang luar biasa, terlebih di Jumat sore, akan tetapi kali ini ada yang berbeda sebab.. perut saya terasa sakit melilit!
Ada yang tidak beres di perut saya, besar kemungkinan itu adalah reaksi karena memakan mi goreng basi barusan.
Rasanya sungguh tidak nyaman.
Waktu terasa berjalan lambat…
Azan maghrib telah berlalu, rasanya saya ingin segera sampai ke rumah.
Saya menyesal telah nekat menghabiskan mi goreng itu.
Anda tentu pernah mendengar peribahasa “nasi telah menjadi bubur” yang artinya “perbuatan yang sudah terlanjur terjadi”.
Ada orang yang bilang jika nasi sudah menjadi bubur maka sekalian saja tambahkan kerupuk, cakwe, kacang, ayam, jadilah bubur ayam.
Dengan kata lain jangan menyerah dengan apa yang telah terjadi.
Akan tetapi dalam kejadian mi goreng basi yang saya alami, tidak ada penyelesaian yang tepat terhadap kesalahan tersebut selain membuang mi goreng tersebut.
Mungkin ada cara lainnya, tetapi yang pasti bukan dengan tetap memakannya apa adanya.
Penyesalan yang saya rasakan karena lupa telah membawa bekal makan siang itu mestinya tidak saya tindaklanjuti dengan melakukan kesalahan lainnya, yaitu memakannya.
Tadinya kesalahan saya hanya satu, maka dengan tetap memakannya kesalahan saya jadi bertambah.
I should have just let it go.
Melepaskan, merelakan kesalahan yang telah dilakukan di masa lalu perlu dilakukan jika kesalahan tersebut memang tidak bisa ditebus secara langsung.
Kemudian beristighfar dan senantiasa melakukan amal kebaikan.
Itu lebih baik daripada dihantui rasa bersalah atas kesalahan yang tidak bisa diperbaiki secara langsung yang ketika terlalu banyak memikirkannya malah menjadi kontraproduktif.
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun anda berada. Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Al-Tirmidzi)
Kemudian seporsi ayam goreng pun tiba di hadapan saya, akan tetapi masih panas.
Saya tidak suka memakan masakan yang masih panas.
Maka sambil menunggu panasnya berkurang, saya pun mengambil ponsel dari tas dan melihat-lihat akun Facebook saya.
Terpancing Jebakan Debat
Setelah beberapa menit melihat-lihat status orang-orang, mata saya menangkap status seorang teman FB, dia teman satu kampus dulu.
Di status FB-nya dia mengomentari berita viral tadi siang yang masih sangat hangat tentang seorang tokoh yang diduga melakukan skandal.
Meski belum jelas kebenaran kabar tersebut namun teman FB ini dengan mudahnya mengomentari dengan nada nyinyir.
Saya tidak kenal secara pribadi dengan sang tokoh dimaksud, akan tetapi selama ini saya mendapat kesan kalau beliau adalah orang baik-baik.
Entah beliau hanya sedang terbuka aibnya ataukah itu rekayasa, saat itu belum jelas duduk perkaranya.
Saya pun mengomentari status sang teman FB, mencoba mengingatkannya agar tidak menulis seperti itu seolah sudah pasti kebenarannya.
Sayangnya niat baik saya tidak ditangkap dengan baik, justru dia malah semakin menjadi-jadi mengejek sang tokoh.
Sebenarnya saya bukan satu-satunya orang yang berkomentar mengingatkan, beberapa teman saya yang juga temannya pun mengingatkan dirinya.
Namun sang pemilik status tetap bersikeras mempertahankan tindakannya.
Maka terjadilah debat panas.
Kami saling berbalas komentar.
Situasinya sebenarnya begini, sang penulis status FB ini sebenarnya sebelumnya sudah beberapa kali terlibat perdebatan dengan teman-teman saya.
Jadi ketika teman-teman saya tahu saya berdebat dengannya, mereka pun ikutan terjun melibatkan diri.
Setelah beberapa waktu, saya pun mulai merasa lapar.
Lalu saya melihat ke piring dan ternyata.. Ayam goreng saya lenyap!
Waduh, kemana tuh?
Tidak kemana-mana.
Ayam goreng itu telah masuk ke perut saya, hanya saja.. tanpa saya sadari!
Jadi saat tadi saya berdebat, saya memfokuskan pikiran pada layar ponsel dan jalannya pertempuran komentar.
Sedemikian fokusnya sehingga tanpa saya sadari tangan saya telah meraih ayam goreng impian dan melahapnya hingga habis
Ternyata perdebatan tadi telah menguasai pikiran saya.
Ini memalukan.
Atau lebih tepatnya ini menyedihkan.
Ayam goreng tadi mestinya menjadi ayam goreng impian masa kecil yang akhirnya bisa saya beli dengan gaji pertama.
Semestinya malam itu menjadi malam indah berkesan.
Sayangnya saya telah merusaknya.
Saya pun pulang dengan kecewa sekaligus menyesal.
Satu Malam yang akan Terus Dikenang
Meski malam itu terasa berantakan, tetapi pada akhirnya tetap menjadi malam yang bersejarah.
Sebuah sejarah telah tertorehkan, yaitu bahwa mulai malam itu saya akan lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.
Tidak ingin lagi terjebak pada perdebatan semacam itu.
“Aku memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Aku memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam bentuk candaan. Aku memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang bagus akhlaknya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud)
Sang teman FB, saya tak tahu masalah apa yang tengah di hadapinya, apa latar belakang kisah kehidupannya, saya tidak tahu.
Tapi satu hal yang saya tahu: saya tidak ingin lagi terseret dan terlibat dalam perdebatan semacam itu.
Saya kuatir waktu saya yang sangat berharga jadi tersia-siakan.
Dan yang tak kalah pentingnya, malah menjadi inti dari tulisan ini, saya perlu menyampaikan agar kita senantiasa berusaha memetik hidayah dari kejadian tersebut dan mewaspadai sebuah risiko: gagal dapat hidayah.
Saya akan menulis 9 poin seputar pengalaman saya dan keluarga melakukan isolasi mandiri Covid-19 (akan saya update jika saya menemukan informasi yang saya anggap perlu untuk ditambahkan).
Sebelum bercerita lebih lanjut, paling pertama sekali saya akan mengungkap rujukan yang saya pegang terkait Covid-19.
Kenapa saya merasa perlu menyampaikan ini?
Karena ini akan menyangkut poin ketiga — sebagai salah satu hal paling penting yang ingin saya sampaikan — serta keseluruhan tulisan ini.
Berhubung banyak beredarnya informasi seputar Covid-19 baik yang memiliki dasar maupun tidak atau hoaks (hoax) maka saya membatasi informasi yang saya terima.
Fumio Sasaki seorang penulis gaya hidup minimalis Jepang pernah bilang dalam bukunya yang berjudul Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism, ada beragam informasi membanjiri kita, dengan keterbatasan yang kita miliki hendaknya kita merampingkan dan merapikan benak dari banjirnya informasi tersebut.
Saya tidak punya waktu luang untuk membaca info-info mengenai Covid-19 yang berasal dari sumber yang tidak jelas.
Oleh karena itu rujukan yang saya jadikan pegangan mengenai Covid-19 hanya berfokus pada:
Masing-masing pihak memiliki domain masing-masing yang berkaitan, misalnya:
Pemerintah Pusat menentukan zona warna dan kebijakan-kebijakan.
Satgas Covid-19 memaparkan angka statistik.
MUI menerbitkan fatwa bolehnya vaksin atau tata cara sholat berjamaah di masa pandemi (misalnya bolahnya memakai masker dan menjaga jarak saat shalat berjamaah).
IDI menyampaikan teori terkini mengenai Covid-19.
Dengan demikian pemahaman saya seputar Covid-19 antara lain:
Covid-19 adalah penyakit yang dampaknya terhadap seseorang bisa beragam, ada yang tidak bergejala –benar-benar tidak terlihat tanda-tanda sama sekali, ada yang bergejala baik ringan, sedang, maupun berat bahkan mematikan.
Penyebarannya sangat cepat.
Protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mencuci tangan dilakukan sebagai bentuk ikhtiar.
Vaksin diberikan sebagai salah satu bentuk ikhtiar.
2. Apa yang Saya Rasakan Saat Terpapar Covid-19?
Kemampuan tubuh setiap orang menerima hadirnya virus Covid-19 dalam diri benar-benar beragam.
Ada yang ringan dan malah ada yang merasa tidak mengalami gejala apa-apa, ada juga yang mengalami gejala sedang, dan ada juga yang berat bahkan mematikan.
Saat saya menulis artikel ini, berita duka berdatangan silih berganti baik di group-group Whatsapp maupun melalui pengumuman di masjid-masjid.
Bagaimana dengan saya?
Saya menilai gejala yang saya alami bukan termasuk gejala berat karena tidak sampai membuat saturasi oksigen saya turun, sesak napas, atau bahkan masuk rumah sakit.
Akan tetapi meski demikian apa yang saya alami adalah sesuatu yang sungguh luar biasa buat saya dan keluarga!
Saya tidak akan menulis detail apa yang saya alami, karena saya tidak ingin orang menjadi takut atau panik, lagi pula seperti saya tulis tadi tidak semua orang akan mengalami gejala.
Dan saya sendiri toh berhasil survive juga melalui 14 hari isoman (meski saat menulis tulisan ini masih merasa lemah dan suka kedinginan di sore hari).
Yang bisa saya tulis tentang terpapar Covid-19 yang saya alami:
Saya pernah (a) kejedot ujung tajam jendela sehingga kepala pun dijahit, (b) demam berdarah diopname 5 hari, (c) terluka saat main bola bersama teman-teman di Puncak sehingga di tengah malamnya demam menggigil dahsyat dan saya bersyahadat berulang-ulang karena menduga akan mati, (d) mengalami kebanjiran selama sepekan yang merusak ratusan buku yang saya miliki dan harus membereskan kerusakan yang ditimbulkan. Nah, rasa takut dan desperate yang saya alami saat sakit Covid-19 yang lalu tidak ada bandingannya dengan yang saya alami di kejadian-kejadian yang saya sebut barusan.
Saya menangis berkali-kali. rasanya sudah lama saya tidak menangis seperti ini. Saya takjub, jika gejala ringan saja seperti ini maka apalah lagi gejala berat?
Saat lagi parah-parahnya, meluruskan telunjuk saja saya tidak sanggup. Ada hari di mana anak saya yang berusia 2,5 tahun seharian tidak kami mandikan, bahkan tidak kami ganti bajunya yang ketumpahan bihun, karena simply kami tidak sanggup!
Di awal terkonfirmasi positif melalui tes PCR, saya bertekad untuk menjadikan momen isolasi mandiri sebagai kesempatan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Ternyata apa yang terjadi? Saya kesulitan membacanya karena napas jadi pendek. Kira-kira begini, “bismillaa.. hirrohmaa.. nirrohim” (merasa lelah) “alhamdulilla.. hirobbil.. ‘alamiin” (merasa lelah). Pernah saya meruqyah ayah saya selama 30 menitan setelah itu dada terasa agak sakit.
Selama beberapa hari istri saya hanya bisa tidur, kondisi mengkhawatirkan, dada agak sakit, dan beberapa kali menangis.
3. Terpapar Covid-19 Adalah Momen Berharga untuk Meraih Hidayah Setiap Hari!
Nah, ini bagian yang paling ingin saya ingat dan paling ingin saya share ke para pembaca tulisan ini.
Please, tolong jangan skip tulisan ini..
Saat terkena ujian musibah ini saya lantas memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beristighfar.
Saya juga meminta maaf kepada teman-teman serta meminta didoakan.
Tiap kali ada yang menanyakan saya perlu dibantu apa selalu saya katakan yang paling utama saya memerlukan ampunan maaf atas semua kesalahan saya terhadap mereka dan bahwa saya memerlukan bantuan doa mereka.
Di dalam hati saya berjanji akan merutinkan sholat berjamaah rutin dengan istri, terutama sholat tahajud (di masa pandemi ini saya jarang shalat berjamaah di masjid karena saya tinggal bersama orang tua yang sudah sakit stroke dan diabetes).
Saya juga berjanji akan lebih memperhatikan anak saya.
Ada rasa sedih ketika anak minta digendong seperti biasa tetapi saya tidak bisa melakukannya karena perlu menjaga jarak.
Bahkan anak saya sempat bilang,
“Aku e’e (pup), mama lagi sakit, jadi aku enggak dicebokin.”
yang serta merta membuat kami terkejut karena khawatir sedari tadi anak kami BAB tetapi tidak bilang karena merasa kami orang tuanya sedang tidak sanggup mengurusnya.
Saya berjanji untuk kembali menghafal Juz Amma, serta janji-janji lainnya.
Saya pun tersadar alangkah indahnya jika ujian ini menyadarkan saya!
Saya teringat kisah kaum Ninawa, kaum diutusnya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Yunus ‘Alaihis Salam kepada penduduk kampung (negeri), yaitu Ninawa di wilayah Mushil (Irak).
Beliau berdakwah mengajak penduduk negeri tersebut agar menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, tetapi penduduk negeri tersebut enggan menerima dan tetap dalam kekufuran mereka.
Sehingga akhirnya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam meninggalkan mereka.
Seketika itu mereka pun tersadar bahwa perginya Nabi Yunus ‘Alaihis Salam meninggalkan mereka merupakan pertanda bahaya bagi mereka, sebentar lagi mereka tentu akan mendapat azab dari Allah.
Maka mereka pun bertaubat dengan sungguh-sungguh dan Allah menyelamatkan mereka dari kehancuran.
“Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu.” (Al-Qur’an Surat Yunus ayat 98).
Tatkala Nabi Yunus ‘Alaihis Salam telah meninggalkan mereka, mereka menyangka bahwa azab yang diperingatkan akan segera diberlakukan.
Maka Allah mengaruniai mereka kesadaran untuk bertaubat ke dalam hati mereka.
Mereka kemudian mengenakan pakaian kasar dan memisahkan setiap ternak dengan anaknya.
Mereka memohon dengan sangat kepada Allah selama empat puluh malam.
Setelah kejujuran taubat mereka terbukti, dan mereka benar-benar menyesal atas apa yang sebelumnya mereka lakukan, maka Allah pun menjauhkan mereka dari azab yang hampir saja menimpa mereka.
Saya pun ingin menjadikan ujian musibah Covid-19 ini sebagai momen penting dalam hidup saya untuk meraih ampunan Allah dan hidayah yang akan bertahan hingga akhir hayat.
Ini adalah momen teramat penting, beberapa orang bahkan mengalami masa kritis alias hampir berpulang, ada juga yang kehilangan anggota keluarganya.
Ini adalah pengalaman yang mahal.
Dari beberapa hadits disebutkan bahwa seorang beriman yang meninggal karena wabah maka dia berpeluang memperoleh pahala syahid.
“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Tetapi syaitan tidak akan tinggal diam mengetahui adanya peluang kedudukan syahid tersebut.
Syaitan akan menghembuskan keraguan, syubhat, fitnah, kesibukan yang tidak berguna ke dalam hati manusia.
Mencari siapa saja yang akan terperosok kepada jebakannya.
Oleh karena itu seseorang yang mengalaminya hendaknya berhati-hati jangan sampai terperosok ke dalam jurang kerugian.
Yaitu ketika mengalami hal krusial ini malah menyibukkan diri dengan membaca atau mendengar informasi-informasi hoax yang sesat lagi menyesatkan, yang tidak jelas sumbernya, tidak jelas kredibilitasnya.
Lebih parah lagi malah mendorongnya untuk menuduh berbagai pihak.
Alangkah ruginya jika gagal memperoleh penghapusan dosa-dosa atau ketika gugur ternyata batal memperoleh pahala syahid.
Di sisi lain ada orang-orang yang jika diberikan kemudahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa gejala ringan atau malah tak bergejala, malah menjadikannya sombong, bukan bersyukur.
Jika itu yang terjadi: sayang sekali, sangatlah rugi.
Saat kita tertimpa musibah terpapar Covid-19, kita bisa memilih ingin menjadikan musibah tersebut sebagai apa.
Saya memilih untuk memetik hidayah dari musibah ini dan tidak membiarkan hilangnya kesempatan memperoleh hidayah yang tak ternilai harganya.
Keputusan ada di tangan saya, Anda, kita, akankah membiarkan terhalangnya hidayah yang mestinya bisa diraih dari ujian musibah ini?
Maka saya memilih meninggalkan informasi yang tidak jelas, tidak mau mempersulit diri, tidak mau menambah dosa dengan prasangka buruk, dan tentu saja: saya ingin memperbanyak istighfar!
4. Segera Melaporkan Diri pada Ketua RT, Ketua RW, atau Satgas Covid-19
Ini penting.
Laporkan segera ke Ketua RT, Ketua RW, Satgas Covid-19, atau puskesmas.
Ini harus dilakukan.
Dengan melaporkan sejak awal kita akan bisa dipantau dan mendapat bantuan atau saran yang diperlukan.
Setelah melapor ke pak Hadi, Ketua RW sekaligus Satgas Covid-19 setempat, saya dihubungi oleh dokter Desi dari Puskesmas Rawa Tembaga Bekasi yang akan memantau perkembangan saya dan keluarga melalui komunikasi Whatsapp.
Saat ayah saya saturasinya turun ke 70, pak Hadi melaporkan ke dokter puskesmas, lalu saat itu juga dr. Desi menelepon saya memberitahu agar ayah saya segera dibawa ke rumah sakit.
Kami sekeluarga merasa ragu apa harus membawa ke rumah sakit karena kondisi bapak yang hanya bisa berbaring karena badannya lemah, sementara dari kabar yang saya dengar IGD penuh sehingga antrian ke kamar rawatnya bisa 1-2 hari.
Namun dr. Desi menyarankan tidak apa-apa menunggu yang penting menunggu di RS sehingga ada yang menangani.
Dalam kondisi lemah memang terkadang kita memerlukan orang yang mengarahkan dengan diksi yang jelas, sehingga meski awalnya ada keraguan, kami sekeluarga pun akhirnya bertekad membawa ayah ke rumah sakit yaitu RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi.
Berhubung ambulans puskesmas sedang fully booked, maka keluarga saya mencari ambulans yang dapat mengangkut ayah.
Alhamdulillah berhasil dapat.
Setelah masuk ke RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi barulah kami sekeluarga mengetahui data medis ayah kami yang terdampak akibat Covid-19, mulai dari gula darah hingga trombosit yang hampir semuanya berada di luar batas normal.
RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi telah berusaha melakukan yang terbaik, meski demikian pada akhirnya qadarullah ayah kami wafat setelah 4 hari berjuang dan dimakamkan di TPU Pedurenan Bekasi.
5. Konsumsi Vitamin C, Vitamin E, dan Berjemur Sinar Matahari
Bu dokter Desi mengontak saya melalui Whatsapp dan menyampaikan agar saya mengonsumsi vitamin C, E, dan berjemur di bawah sinar matahari selama 15 menit setiap jam 8.30 pagi.
Adapun untuk obat-obatan lainnya agar dikonsumsi apabila ada keluhan saja, misal bila batuk minum obat batuk, bila demam minum obat demam.
Untuk kebutuhan vitamin saya berinisiatif membeli paket “Isolasi Mandiri Gold – Paket Sehat” yang merupakan paket bundel Vitamin D 5000 IU dan Zegavit.
Saya tidak sedang mempromosikan produk tersebut, ini hanya sekadar salah satu pilihan paling mudah yang bisa saya peroleh dan tentunya saya menanyakan terlebih dahulu kepada dokter Desi apakah paket vitamin semacam ini sudah dianggap memadai.
Saya sekeluarga juga mengonsumsi beragam madu, jamu, dan herbal, termasuk herbal Rempah PH7 dari Ustadz Adi Hidayat (bila Anda berminat memperolehnya Anda bisa mendaftar online, gratis, hanya perlu mengganti ongkos kirim saja jika ingin dikirim ke rumah — bisa juga mengambil sendiri di Quantum Akhyar Institute).
6. Panggil Tes PCR Mandiri ke Rumah untuk Mengetes Orang yang Tinggal Satu Rumah
Jika memungkinkan, sebaiknya memanggil PCR mandiri ke rumah untuk mengetes orang yang tinggal serumah. PCR mandiri ini lebih cepat keluar hasilnya daripada PCR dari puskesmas.
Lab yang saya gunakan untuk tes PCR pertama yang menunjukkan hasil positif saya adalah Laboratorium Klink PLATINUM.
Sedangkan untuk memanggil ke rumah untuk mengetes anggota keluarga serumah menggunakan Laboratorium Otrismo.
Hasil tes PCR menunjukkan bahwa saya, istri, ibu, dan ayah positif Covid-19.
Sedangkan anak saya yang berusia 2,5 tahun tidak saya tes PCR tetapi kami anggap positif juga karena menunjukkan gejala demam selama 3 hari.
7. Kabari Keluarga, Tetangga, Teman, atau Komunitas
Peran keluarga, tetangga, teman, atau komunitas adalah membantu mengamati perkembangan kita.
Sebab dalam keadaan lemah terkadang kita tidak sanggup memikirkan apa yang dibutuhkan dan bagaimana mendapatkannya.
Ketika isolasi mandiri, semua bantuan apa pun akan terasa berharga. Terlebih kita diharapkan tidak keluar rumah seperti ke ATM, minimarket dan sebagainya.
Oleh karena itu silakan kabari teman-teman atau komunitas yang Anda menjadi anggotanya atau Anda ketahui dapat membantu Anda.
Saya mendapat banyak bantuan dari saudara-saudara, kantor yang meminjamkan mesin oxygen concentrator (menggantikan tabung oksigen yang semula ayah saya pakai, tidak perlu lagi isi ulang tabung!), teman-teman, bahkan teman-teman alumni SMAN 1 Bekasi dan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 2003 yang kami sudah sangat jarang bertemu (mereka bahkan mengumpulkan donasi untuk saya!), dan lain-lain.
Kiriman donasi, vitamin, madu, makanan pun berdatangan silih berganti, masya Allah.
Salah seorang teman malah sejak awal saya kabari sudah menanyakan apa golongan darah saya, just in case saya memerlukan darah dia bisa membantu mendonorkan darahnya.
Ini mungkin terdengar menyeramkan, tetapi kenyataannya ada orang-orang yang membutuhkan donor darah karena penyakit ini.
Sehingga saya berterima kasih teman saya mengingatkan saya tentang kemungkinan tersebut.
Bahkan Pak Vid Adrison dosen pembimbing skripsi saya yang selama ini saya sudah tidak pernah berkomunikasi dengannya tiba-tiba turut menghubungi saya untuk menanyakan kabar. Saya benar-benar terharu beliau mengkhawatirkan kondisi saya.
Keluarga kami juga berterima kasih kepada bu bidan Wiwi, tetangga kami yang berbaik hati membantu merawat ayah kami yang semestinya dibawa ke RS namun saat itu kami belum ada yang sanggup melakukannya karena kami terlalu lelah dan sulit berpikir.
Keluarga kami juga banyak dibantu tim relawan seperti Bu Ria, Bu Enden, Bu Nia, Bu Martha dan lain-lain setiap hari saya dan keluarga melaporkan formulir ini melalui Whatsapp kepada tim tersebut:
Tanggal :
Nama : Hasil Antigen/ PCR : Isoman hari ke : Suhu : Nadi : Pernapasan /menit : Saturasi : Keluhan : Obat yg sdg di konsumsi :
Bu Ria bahkan datang malam-malam untuk membantu memperbaiki infusan ayah yang lepas. Ada pak Kiki yang mengantar-jemput isi ulang tabung oksigen. Ditambah lagi dengan peran signifikan bu Martha yang mendampingi ke rumah sakit.
Masya Allah.
Intinya, ketika isolasi mandiri jangan dipendam sendiri, selain melapor ke pihak RT, RW, atau Satgas Covid-19, kabari juga orang-orang terdekat Anda serta orang-orang yang menurut Anda dapat membantu.
Jangan ragu meminta tolong jika memerlukan, berjanji saja dalam hati jika sudah sembuh juga akan melakukan hal yang sama, membantu orang yang sedang terpapar dengan kemampuan yang dimiliki, termasuk berdoa untuk kesembuhan mereka.
8. Hindari Bergerak Terlalu Cepat, Jangan Lupa Mengatur Napas
Saat bergerak untuk mengerjakan aktivitas penting (misalnya mencuci baju, Anda mungkin tetap harus melakukannya) lakukan perlahan dan sambil mengatur napas.
Intinya jangan bergerak terlalu cepat dan jangan lupa mengatur napas.
Situasi yang dihadapi masing-masing orang berbeda-beda.
Ada orang-orang yang saat isolasi mandiri bisa tidur nyenyak, nonton TV, makan enak.
Akan tetapi ada juga orang-orang yang seperti saya dan ibu saya harus tetap full capacity mengelola isi rumah seperti mengepel lantai, menyemprot sanitizer udara, mencuci baju semua penghuni rumah, memantau anak yang demam tiap 5 jam sekali (saat anak saya sedang bergejala), memantau ayah yang terbaring lemah, dan lain-lain.
Kami perlu menjaga kondisi rumah selalu berganti udaranya, rutin berganti seprai dan sarung bantalnya.
Saya tidak mudah beristirahat, saya ingin sekali beristirahat tetapi belum bisa.
Karena jika saya beristirahat maka siapa lagi yang akan mengerjakannya selain saya dan ibu saya yang jika dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya (yaitu ayah dan istri saya) masih lebih baik kondisinya.
Maka di sini kami harus mengatur strategi beraktivitas.
Saya mendapati ketika saya bergerak terlalu cepat maka saya akan lebih cepat lelah (meski dengan bergerak lambat pun saya juga merasa lelah).
9. Pantau Tanda-Tanda Vital
Orang yang melakukan isolasi mandiri (isoman) sebaiknya memiliki oximeter untuk mengukur saturasi oksigen dan nadi.
Saat ayah saya merasa kedinginan saya bisa segera tahu bahwa kadar oksigen di dalam darahnya sedang ngedrop karena saya mengecek dengan oximeter, dari semula 97 menjadi 80 hanya dalam waktu 15 menit!
Saya tidak tahu apa benar saturasi oksigen dapat turun secepat itu tetapi itu adalah pengalaman yang kami lihat sendiri.
Saya mengecek saturasi ayah sebelum saya tidur, angka menunjukkan 97. Baru juga saya rebahan tiba-tiba ayah menggedor-gedor lemari di samping tempat tidurnya, “dingin!” teriaknya.
Ayah menguap berkali-kali, badannya gemetar, dan setelah saya cek saturasinya menunjukkan angka 80.
Selain saturasi oksigen dan nadi, seseorang hendaknya mengukur jumlah napas dalam satu menit.
Data tersebut akan diperlukan untuk berkonsultasi dengan dokter puskesmas yang memantau.
Anak kecil sepertinya memiliki daya tahan yang lebih kuat, karena kami hanya perlu memantau suhu anak kami, begitu mulai naik ke 37 maka kami memberi Tempra Sirup.
Setelah itu alhamdulillah dia akan lari-larian lagi sampai datang demamnya lagi.
Selain Tempra kami juga memberikan Imboost Kids.
Kesimpulan
Ini adalah catatan pribadi saya dalam melakukan isoman.
Saya membuat catatan ini karena ini adalah termasuk momen paling penting dalam sejarah hidup saya dan keluarga saya, sekaligus saya ingin berbagi informasi apa yang perlu dilakukan orang yang baru terpapar Covid-19 baik bergejala maupun tidak.
Saya ingin menjadikan momen tersebut sebagai momen penting di mana setiap harinya saya tersadar betapa lemahnya diri saya sebagai manusia, menyadari kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, dan memperbanyak beristighfar.
Dengan demikian semoga saya memperoleh hidayah Allah di setiap harinya.
Terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dengan doa, kiriman, pendampingan, ampunan maaf, dan lain-lain, yang tidak mampu saya tulis satu per satu.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan yang berlipat.
Sebagai penutup saya memohon maaf bila di dalam tulisan ini maupun blog saya secara keseluruhan ada yang membuat Anda pembaca blog ini merasa kurang berkenan.
Ini adalah timeline atau kronologi kejadian terpaparnya Covid-19 di rumah kami.
Jika 9 poin di atas dibuat berdasarkan poin apa saja yang saya anggap perlu diketahui tanpa urutan timeline, maka saya menambahkan bagian ini untuk menuliskan urutan kejadian yang terjadi di rumah kami (meski tanpa tanggal-tanggalnya):
Ayah sakit batuk-batuk, kemudian demam, lalu tidak doyan makan berhari-hari. Di fase ini ibu juga sakit.
Beberapa hari kemudian saya demam. Saya memutuskan tes antigen untuk diri saya, hasilnya positif.
Tengah malam setelah saya tes antigen, ayah saya berteriak kedinginan, menggigil, saturasi oksigennya turun ke 80, lalu naik lagi ke 92 dengan tabung oksigen.
Paginya saya PCR yang 1 hari jadi, hasilnya saya positif.
Dua hari kemudian ibu, ayah, dan istri PCR yang 1 hari jadi, hasilnya positif semua.
Istri mulai demam.
Beberapa hari kemudian anak saya demam.
Kondisi ayah semakin memburuk, tetapi kami tidak ada yang sanggup membawa ke RS.
Saat saturasi oksigen ayah naik-turun (paling rendah 70, tetapi bisa naik ke 94) dan kondisi semakin memburuk ayah dibawa ke RS.
Setelah 5 hari dirawat di rumah sakit, ayah wafat.
Referensi
Tim Ahli Tafsir di Bawah Pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. (2015). Shahih Tafsir Ibnu Katsir (10 ed., Vol. 4). (A. A. Bashri, Ed., & A. I. al-Atsari, Trans.) Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
Zaidan, D. K. (2016). Hikmah Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an: Dari Nabi Adam-Nabi Isa Alaihimussalam Beserta Kaumnya (6 ed., Vol. 1). Jakarta: Darus Sunnah.
Featured Image: iStock.com / Dannko (Standard License)
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Inilah buku yang bikin saya kesulitan menentukan halaman mana yang mau saya lipat, bagian mana yang mau saya highlight, karena hampir setiap halaman buku ini inspiratif!
Buku tersebut memang buku luar biasa yang menginspirasi para pembacanya.
Nah, dalam tulisan ini saya akan mengulas, mereview, atau menyajikan resensi sebuah buku yang menurut saya even better dari buku karya Marie Kondo tersebut, buku yang menurut saya bahkan lebih dahsyat.
Awalnya saya menemukan buku tersebut di Google Play Books, beberapa bulan setelah saya menemukan buku Marie Kondo.
Kemudian saya membelinya.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Pengalaman Unik Saat Membeli Buku Ini
Mengenai buku terjemahan ini saya punya pengalaman unik.
Waktu itu saya lagi ada business trip ke Semarang.
Saya mampir ke toko buku Gramedia di sana.
Kemudian saya terkesima ketika melihat ada terjemahan buku ini di rak buku.
Wah, sudah ada terjemahannya!
Saya senang karena 2 hal, pertama, akan ada lebih banyak orang yang mengakses buku ini, kedua, harga buku ini pastinya jauh lebih murah ketimbang buku versi bahasa Inggris yang saya beli di Google Play Books.
Ketika saya lagi memegang-megang buku itu, mempertimbangkan buat beli, tahu-tahu ada seorang anak muda yang mendekati saya.
Matanya terlihat antusias saat bilang: “Bagus tuh mas bukunya!”
I know, kata saya dalam hati. “Betul mas, bagus buku ini!” jawab saya.
Dua orang yang antusias dan tidak saling mengenal itu pun saling bertukar cerita.
Ternyata dia punya minat yang sama dengan saya terhadap gaya hidup minimalis.
Bacaan yang disarankan olehnya pun sebagian sudah pernah saya baca.
Obrolan kami nyambung.
Saya tahu apa yang dirasakannya, kira-kira begini, bahwa kita sama-sama tahu ini buku yang bagus, buku yang life-changing, buku yang bikin kita berubah, tetapi.. belum semua orang tahu tentang buku ini!
Maka ketika ada orang yang tampak antusias (yaitu saya) melihat buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sang anak muda itu menghampiri saya dengan mata berbinar seperti mendapat kawan bicara dan berbagi cerita.
Setelah cukup lama ngobrol di depan rak buku, kami berpisah dan saya memasukan buku itu ke dalam tas belanja, menuju kasir.
Saya membeli buku yang sudah pernah saya beli versi bahasa Inggrisnya.
Fumio Sasaki, Penulis Buku Ini, Adalah Seseorang yang.. Biasa Saja
Berbeda dengan Marie Kondo yang memang sudah ada bakat berbenah sejak kecil, Fumio Sasaki hanyalah seorang biasa yang semula tak punya pengalaman berbenah secanggih Marie Kondo.
Di bagian “Prakata”, Fumio Sasaki mengisahkan tentang dirinya.
Saya tulis ringkasannya di sini agar pembaca memperoleh gambaran bahwa Fumio Sasaki adalah seorang yang.. (bersambung).
Silakan baca dulu ringkasan ini nanti saya lanjutkan:
Saat menulis buku adalah seorang pria berusia 35 tahun, lajang, belum pernah menikah.
Bekerja sebagai editor di sebuah penerbit.
Sepuluh tahun sebelum memilih gaya hidup minimalis, dia amat bersemangat untuk bekerja di bidang penerbitan karena ingin memiliki karier di bidang yang memberinya ruang untuk memikirkan gagasan besar dan nilai-nilai budaya, tidak melulu berfokus pada uang dan hal-hal materi lain.
Namun semangat itu perlahan luntur karena industri penerbitan melalui masa sulit, agar bisa bertahan mereka harus menerbitkan buku yang disukai pasar.
Semangatnya mulai padam dan menerima cara pikir bahwa segalanya adalah tentang uang.
Pada saat yang sama dia juga membeli banyak barang karena yakin bahwa segala sesuatu yang dimilikinya akan meningkatkan harga diri dan bikin bahagia.
Namun dia akan merasa rendah ketika membandingkan dengan orang lain yang terlihat lebih sukses.
Maka dia pun merasa tidak tahu bagaimana cara memperbaiki keadaan, tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, menenggak minuman keras, dan tidak bisa merapikan apartemennya.
Akhirnya menyudahi hubungan dengan kekasihnya karena merasa tidak punya masa depan dengan keadaan keuangan yang menyedihkan.
Sampai pada suatu ketika, dia menyingkirkan sebagian besar barang miliknya dan mulai merasakan kebahagiaan.
Dari kisah hidupnya tadi terlihat bahwa Fumio Sasaki adalah seorang yang.. biasa-biasa saja!
Dia bukanlah sosok motivator bisnis, juga bukan seorang yang sukses mengumpulkan kekayaan.
Hanya Seseorang yang Hidupnya Pernah Berantakan, Kemudian Bangkit dengan Menyingkirkan Barang-Barang Miliknya
Dia secara jujur menggambarkan bahwa dirinya seorang yang biasa-biasa saja dan malah pernah mengalami hidup yang berantakan.
Dia hanya sedang menggambarkan melalui bukunya bagaimana bangkit dari situasi tersebut.
Yaitu dengan menyingkirkan barang-barang miliknya.
Setelah merapikan apartemennya, hidupnya secara perlahan mulai terasa membaik.
Melalui bukunya, Fumio Sasaki ingin menyampaikan bahwa memiliki barang dalam jumlah sedikit mengandung kebahagiaan tersendiri, itulah mengapa sudah saatnya kita berpisah dengan banyak barang yang kita punyai.
Apa yang disampaikan Fumio Sasaki adalah apa yang disebut dengan minimalism.
Minimalism menurut Fumio Sasaki adalah:
(1) Proses mengurangi barang kepemilikan kita hingga ke jumlah paling minimum.
(2) Hidup hanya dengan barang-barang itu agar kita dapat berfokus pada hal yang sungguh-sungguh penting bagi kita.
Fumio Sasaki bilang semua orang mengawali hidupnya sebagai minimalis, tak seorang pun yang lahir ke dunia dengan membawa suatu benda.
Kemudian kita ingin memiliki lebih banyak barang, sehingga menghabiskan lebih banyak waktu dan energi untuk mengelola dan mempertahankan benda yang kita punya.
Berusaha mati-matian sampai akhirnya barang yang seharusnya memudahkan justru malah mengendalikan kita.
Salah satu ide besar yang diangkatnya: manusia itu sejak dahulu hingga sekarang kapasitas otaknya sama saja.
Tetapi ketersediaan informasi yang ada di era modern ini semakin meningkat, banjir malah.
Banjir informasi, banjir data, dengan adanya internet.
Maka otak yang kemampuannya sama saja dengan di era 50 atau 100 tahun yang lalu tersebut kini dijejali informasi yang jauh lebih banyak, jauh lebih berlimpah.
Sudah saatnya kita mulai merampingkan dan merapikan benak kita agar bisa memunculkan kembali hal-hal penting yang barangkali sudah terkubur di bawah semua hal lainnya.
Isi Buku Goodbye, Things
Saat membuka halaman pertama buku ini, para pembaca akan menemui foto-foto yang menggambarkan proses Fumio Sasaki menjadi seorang minimalis.
Selain itu ada juga 5 contoh penerapan minimalis beserta foto-fotonya. Contoh pertama tentunya foto-foto apartemen Fumio Sasaki sendiri. Contoh lainnya adalah foto-foto apartemen atau barang-barang milik praktisi gaya hidup minimalis lainnya.
Saya suka melihat foto-foto tersebut, menyegarkan batin.
Di sini saya melihat ada perbedaan antara buku cetak versi terjemahan bahasa Indonesia dengan buku yang dijual Google Play Books versi bahasa Inggris, di mana foto-foto yang ditampilkan di versi bahasa Inggris tersebut tampak lebih jernih dan bikin puas.
Setelah menampilkan foto-foto tersebut, Fumio Sasaki selanjutnya mengulas tuntas dua pertanyaan: “mengapa minimalism?” dan “mengapa kita mengumpulkan begitu banyak barang?”.
Selanjutnya dia memaparkan 55 kiat berpisah dari barang, 15 kiat tambahan untuk selanjutnya dalam perjalanan menuju minimalism, dan 12 hal yang berubah sejak dia berpisah dari barang-barang.
Sebagai penutup, dia mengajak pembacanya untuk merasa bahagia, alih-alih menjadi bahagia.
Ya, buku ini adalah tentang kesyukuran, mensyukuri apa yang ada, apa yang already ada di hadapan.
Hal yang Menarik dari Buku Ini
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya atau hal yang menurut saya menarik dari buku Goodbye, Things ini.
(1) Seperti telah saya ungkit di atas, ada perbedaan tampilan foto-foto yang ada di buku versi Google Play Books dan yang versi cetak terjemahan bahasa Indonesia.
Saya pribadi lebih suka yang versi Google Play Books karena foto-foto yang tampak lebih jernih.
Bahkan saya bisa membaca tulisan tangan Kouta Itou (seorang warga Jepang yang menjalankan gaya hidup minimalis yang menjadi contoh di buku ini) di buku catatan merk Moleskine-nya.
Foto-foto di buku ini sanggup membuat saya tenggelam pada nuansa minimalis saat melihatnya.
(2) Beberapa blog atau website yang disebut dalam buku ini tampaknya tidak semuanya masih hidup atau aktif.
Sebagai seorang penulis blog yang senang mengunjungi blog-blog milik orang lain, saya merasa antusias kalau menemukan link blog orang lain.
(3) Ini menarik sekali. Di Jepang bukanlah hal yang sulit bagi seorang dewasa untuk memperoleh material “dewasa” baik berupa film, majalah, maupun komik.
Di minimarket-minimarket di Jepang, menjadi mudah bagi orang dewasa untuk memperoleh barang-barang semacam itu. Komik “panas” misalnya, ada rak khusus di minimarket yang menyediakannya.
Dijual hampir bebas.
Saya bilang hampir bebas karena yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan membelinya, tetapi yang sudah usia dewasa bebas-bebas aja.
Nah, di tengah kebebasan tersebut ternyata Fumio Sasaki ingin melepaskan diri dari kegemaran menonton video dewasa!
Dia membuang video-video tersebut dari hard drive komputernya. Menurutnya, itulah benda yang paling menuntut keberaniannya untuk dibuang.
(4) Fumio Sasaki mengajak berpikir out of the box. Satu contoh yang dia angkat misalnya tentang kekalahan Jepang di ajang Piala Dunia.
Dia mengajak pembaca bukunya membayangkan Keisuke Honda seorang pemain timnas sepak bola Jepang yang sedang duduk di ruang ganti, kemudian dia menaruh tangan di pundak Honda-san dan berkata:
“Ya sudah. Sekarang memang kalah. Tapi, memangnya kenapa?
Jangan murung.
Kau masih mendapat bayaran ratusan juta dan bisa berkeliling kota mengendarai mobil Ferrari.
Kau pun bisa menggantung sepatu sekarang dan berkeliling dunia.
Saya juga yakin, kau pasti bisa mendapat posisi sebagai pelatih.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masa depan, kan?
Berbeda dengan saya. Jadi, sudahlah, ceria saja.”
Meski substansi yang disampaikan Fumio Sasaki kepada Honda-san pada pertemuan imajinernya make sense, tetapi nyatanya kecil kemungkinan akan ada orang yang menghibur Honda-san dengan komentar itu.
Bagi atlet-atlet sekelas Honda-san, mungkin mereka tidak bisa bahagia kecuali memenangkan kejuaraan.
Padahal meski kalah pun tetap memperoleh kedudukan yang bergengsi dan tentunya uang yang berlimpah.
Ini menarik untuk direnungkan.
Bisakah kebahagiaan didefinisikan secara lebih simpel?
Bisakah Kebahagiaan Didefinisikan secara Lebih Sederhana?
Pertanyaan tadi bikin saya jadi membayangkan 2 buah fenomena.
Fenomena pertama, pernah tidak Anda melihat orang-orang yang sudah kaya raya, memperoleh passive income tiap bulan dari investasinya, kemudian Anda berpikir alangkah nikmatnya hidup mereka?
Melihat apa yang mereka miliki, Anda pun berpikir jika Anda menjadi mereka maka setiap hari bisa beribadah dengan nyaman, bersedekah, berkumpul bersama keluarga, atau mungkin jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di Indonesia atau bahkan dunia.
Tetapi ternyata situasinya tidak selalu seperti itu.
Karena kenyataannya ada juga orang-orang yang tidak pernah berhenti sejenak dan merasa puas dengan apa yang telah dimiliki atau dicapai.
Bukan hanya itu, bahkan sebagian orang melakukan hal-hal lain di luar apa yang ada dalam bayangan Anda tadi.
Yang semestinya tidak masalah jika hal-hal lain tadi adalah hal yang baik untuk dirinya.
Akan tetapi sayangnya dari hal-hal lain tadi tidak semuanya benar-benar baik untuknya.
Misalnya ada yang terus bekerja keras hingga melalaikan ibadahnya atau menelantarkan keluarganya.
Atau ada yang terjun ke dunia politik tapi dengan ambisi yang terlalu besar sampai-sampai menghalalkan segala cara.
Dan hal-hal lainnya yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Nah, fenomena kedua, saya juga jadi membayangkan tentang pernikahan.
Di dalam ajaran Islam pernikahan itu kan sebenarnya relatif mudah dalam hal penyelenggaraan acaranya.
Sebab sejatinya memilih calon suami atau istri ibarat memilihkan ayah atau ibu buat calon anak mereka kelak.
Jangan terbalik, penyelenggaraan acara pernikahannya dibikin rumit, sedangkan memilih calon pasangannya dibikin terlampau mudah.
Terlampau mudah di sini maksudnya sekadar melihat oh dia sudah kerja, oh dia cantik/ganteng ya sudah nikah yuk, tanpa mencari tahu bagaimana ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana kepribadiannya, bagaimana hubungan dengan keluarganya, dan sebagainya.
Kalau punya uang berlimpah tentu bebas-bebas saja bikin acara seperti apa dan berlangsung berapa lama.
Mau bikin pesta beberapa hari silakan saja, mau bagi-bagi handphone kepada tamu undangan silakan saja, asalkan mampu.
Asalkan dibiayai uang halal (kalau haram pastilah pernikahan itu tidak berkah).
Namun jika uang yang dimiliki terbatas, maka lebih baik menyederhanakan pernikahan yang hanya diselenggarakan satu hari saja agar uang yang ada bisa digunakan buat keperluan yang jauh lebih penting dan digunakan berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun, misalnya membeli rumah, kendaraan.
Atau bisa juga buat bulan madu.
Sayangnya tidak sedikit acara pernikahan yang dipaksakan melebihi kemampuan sehingga mestinya tabungannya sudah bisa membeli rumah yang bisa dinikmati bersama malah akhirnya ludes.
Masih mending jika sekadar ludes, tak jarang malah bikin hutang yang sampai bertahun-tahun tak juga berhasil dilunasi.
Padahal secara substansi atau esensi, sudah jelas mana yang terbaik apakah memaksakan kemegahan di hari pernikahan ataukah kenyamanan di hari-hari setelahnya.
Tidak jarang hati kecil seseorang ketika ditanya dan diminta menjawab dengan jujur maka dia akan menjawab lebih baik yang kedua, kenyamanan setelah acara pernikahan.
Tetapi kita tahu pada akhirnya karena satu dan lain hal tak sedikit yang akhirnya memilih yang pertama, bukan?
Habis-habisan di hari pernikahan, urusan selanjutnya lihat nanti sajalah.
Mungkin akan ada di antara pembaca yang tidak sepakat dengan perkataan saya barusan, lebih memilih bermegah-megah untuk acara pernikahan meski harus berhutang sana-sini.
Yah, silakan saja.
Hidup ini merupakan pilihan masing-masing orang yang menjalankannya, dan saya pribadi memilih mengutamakan kenyamanan hidup setelah hari H pernikahan.
Karena saya tahu keterbatasan saya.
Bisakah Kita Menikmati Saja Apa yang Ada?
Fumio Sasaki mengajak berpikir: bisakah kita menikmati saja apa yang ada?
Mendefinisikan kembali kebahagiaan agar lebih simpel dan apa adanya.
Daripada “menjadi” bahagia, dia mengajak para pembacanya untuk “merasa” bahagia dengan apa yang already ada di tangan.
Jujur, ini adalah saran yang diakui kebenarannya tetapi tidak selalu mudah menjalankannya.
Perlu menata hati.
Saya ingin sekali bercerita banyak tentang buku ini, tetapi menurut saya akan lebih baik jika pembaca blog ini membacanya sendiri.
Apa Buku Ini Recommended? Tentu Saja 100%!
Apakah saya merekomendasikan buku ini untuk dimiliki dan dibaca?
Tentu saja!
Apa saya menyediakan link download gratis PDF buku Goodbye, Things ini?
Tidak.
Selain karena menghargai jerih payah penulisnya, harga buku terjemahan bahasa Indonesianya masih relatif murah, masih di bawah seratus ribu rupiah.
Jika menurut Anda saat ini sedang tidak punya uang buat beli buku, barangkali setelah membeli buku ini malah Anda bisa berpikir lebih jernih dalam mengelola keuangan.
Sekian review ini.
Anda pernah membaca buku ini dan merasa terinspirasi?
Dengan review ini saya ingin mendudukkan buku ini pada tempatnya secara proporsional.
Karena berdasarkan pengamatan saya tidak semua hal yang disampaikan buku ini akan cocok diterapkan oleh semua orang.
Tetapi bukan berarti dengan adanya hal-hal yang tidak mudah atau tidak cocok diterapkan semua orang lantas buku ini menjadi tidak berguna.
Buku ini tetap mengagumkan dan bermanfaat.
Dalam menulis review ini, saya merujuk kepada 2 edisi buku ini yaitu:
e-book bahasa Inggris yang saya beli di Google Play Books dengan judul The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing (diterbitkan oleh Ten Speed Press)
Sebelum membahas lebih lanjut, baiknya kita melihat 3 fakta unik buku ini yang benar-benar unik.
Keunikan #1: Judulnya bisa bikin salah paham mengira buku ini hanyalah tentang cara berbenah saja padahal bukan.
Ini adalah buku yang mudah disalahpahami.
Tidak sedikit yang mengira buku ini hanyalah buku tentang cara berbenah rumah saja.
Sesuai judulnya yang ada kata “of Tidying Up” yang artinya merapikan atau berbenah.
Setelah membaca buku ini para pembaca akan menemukan ternyata buku ini bukan sekadar mengajari cara berbenah saja, melainkan juga alasan mengapa harus berbenah dan dampak luar biasa pada diri seseorang yang bisa dialami setelah berbenah.
Keunikan #2: Testimoni yang aneh tidak ada yang bilang setelah berbenah rumah menjadi rapi.
Di bab “Pendahuluan” ada testimoni dari para pembacanya, tetapi ternyata tidak satu pun dari testimoni itu yang bilang rumah menjadi rapi.
Coba deh amati testimoni berikut:
“Selepas mengikuti kursus Anda, saya berhenti bekerja dan memulai bisnis sendiri di bidang yang sudah saya cita-citakan sejak kecil.”
“Kursus Anda mengajarkan kepada saya untuk melihat apa saja yang sungguh saya butuhkan dan apa saja yang tidak saya perlukan. Jadi, saya lantas minta cerai. Sekarang saya merasa jauh lebih bahagia.”
“Seseorang yang ingin saya hubungi baru-baru ini mengontak saya.”
“Mencengangkan bahwa membuang ini itu ternyata menimbulkan perubahan besar dalam diri saya.”
“Berat badan saya akhirnya turun lima kilogram.”
Anda sudah membaca testimoni barusan secara teliti?
Sudah menemukan keanehannya?
Ternyata dampak berbenah yang dialami bisa beragam.
Selain itu, tak seorang pun yang sekadar bilang rumah menjadi rapi saja melainkan juga terjadi dampak lainnya yang bahkan ada yang sampai divorce atau bercerai!
Keunikan #3: Bikin pengin orang lain juga tahu tentang buku ini, membacanya, dan terinspirasi.
Setelah membaca buku ini, saya jadi berharap lebih banyak lagi orang yang mengakses buku ini.
Makanya saya pernah membeli buku ini beberapa copy untuk saya bagikan ke orang-orang terdekat.
Saya percaya saya bukan satu-satunya orang yang merasa terinspirasi.
Rasa ingin berbagi inspirasi buku ini pernah mendorong Dee Lestari, seorang penulis, dalam blognya dia cerita setelah membaca buku ini dia bergegas pergi ke penerbit buat meminta mereka menerbitkan terjemahannya (sumber: deelestari.com/review-the-life-changing-magic-of-tidying-up).
Jika Anda membaca tulisan di blog Dee Lestari tersebut Anda akan menemukan kesan antusiasme yang besar untuk memastikan lebih banyak lagi orang Indonesia membaca buku ini.
3. Tentang Buku Ini dan Penulisnya
Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up ditulis oleh Marie Kondo, seorang perempuan warga negara Jepang.
Sejak usia 5 tahun Marie Kondo mulai membaca majalah interior dan gaya hidup.
Kegemaran itulah yang membuatnya terinspirasi, di usia 15 tahun dia mulai melakukan penelitian serius tentang beres-beres dan pada akhirnya mengembangkan metode KonMari yang berasal dari kombinasi nama depan dan belakangnya.
Sekarang Marie Kondo menjadi seorang konsultan dan menyediakan kursus beres-beres atau berbenah one on one (individual).
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi rumah-rumah dan kantor-kantor kliennya.
Memberi saran kepada orang-orang yang merasa kesulitan beres-beres, orang-orang yang mengalami berantakan lagi berantakan lagi, maupun orang-orang tidak tahu harus memulai berbenah dari mana.
Saat saya membaca buku tersebut di tahun 2016 silam disebutkan antrian waiting list jasa konsultasinya sudah mencapai 3 bulan, mungkin sekarang lebih dari itu.
Menurut websitenya, Marie Kondo pernah diwawancarai dan diulas dalam The New York Times, The Wall Street Journal, The London Times, Vogue, The Late Show with Stephen Colbert, The Ellen Show, serta lebih dari lima puluh program televisi dan radio utama di Jepang.
Di tahun 2015 dia menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh versi majalah Time.
Membaca buku The Life-Changing Magic of Tidying Up seakan mendengar sendiri Marie Kondo bercerita.
Kadang saya dibuat tersenyum-senyum saat dia berkisah menemukan gunungan barang-barang tidak terpakai di rumah kliennya.
Saya mendapat kesan Marie Kondo seorang rendah hati, bersahaja, dan punya misi membebaskan kliennya dari clutter ‘berantakan’.
4. Metode KonMari: Bukan Berbenah Biasa
Marie Kondo mengajak pembacanya berbenah dengan membuang apa yang tidak perlu dan hanya mempertahankan apa yang benar-benar penting.
Dengan menjaga hanya apa yang benar-benar istimewa itulah seseorang akan menemukan dampak ikutan, yaitu perubahan kehidupan yang menjadi lebih baik.
Marie Kondo menamakan metode berbenahnya dengan sebutan KonMari, berasal dari kombinasi nama depan dan belakang dirinya.
Dalam mengulas cara beres-beres tersebut Marie Kondo memulai dengan mengajak pembacanya memahami prinsip atau aturan main KonMari.
Jika membaca buku ini pastikan memahami prinsip tersebut.
Karena jika langsung beranjak ke cara melipat baju misalnya dengan menonton tutorialnya di Youtube, bisa jadi dalam waktu singkat akan mudah melupakan KonMari.
Bukan hanya itu, beberapa orang bilang metode KonMari ini hanya untuk orang kaya saja karena bernuansa gaya hidup minimalis, orang yang sejak kecil hidup susah tak perlu lagi diajari buat gaya hidup minimalis, begitu katanya.
Perkataan tersebut jelas keliru.
Kekeliruan pemahaman tersebut karena tak semua orang benar-benar membaca buku tersebut, hanya membaca sekilas atau langsung menonton video berbenah di Youtube.
Oleh karena itu mari baca dulu bukunya.
Setelah membahas prinsip KonMari, Marie Kondo mengajarkan teknik beres-beres barang-barang spesifik, mulai dari pakaian, buku, kertas, pernak-pernik, barang bernilai sentimental, hingga foto.
Secara garis besar metode KonMari adalah sebagai berikut:
Pilih hanya apa yang akan Anda simpan, buang sisanya.
Terdengar simpel, bukan?
Dan sepertinya saya sudah terbiasa mendengarnya.
Tetapi sebenarnya ini tidak sederhana, bahkan ini menggugah kesadaran.
Perubahan hidup pembaca buku Marie Kondo bermula dari kalimat tersebut.
Selama ini saat berbenah yang saya lakukan hanya membuang sampah, menata ulang, memindah-mindahkan barang, menyapu, mengepel, dan mengelap.
Saya belum pernah menimbang-nimbang barang-barang yang saya kira masih perlu saya simpan.
Saya hanya memindah-mindahkan mereka dan menata ulangnya saja.
Ternyata sebenarnya banyak sekali barang tersimpan yang sebenarnya tidak akan menimbulkan masalah maupun kesedihan jika saya singkirkan, malah sebaliknya meningkatkan kenyamanan batin dengan menyingkirkannya dari tempat tinggal saya.
Urutan beres-beresnya tidak boleh terbalik: mulailah dengan membuang, kemudian rapikan ruangan Anda secara menyeluruh, sekaligus, dalam satu waktu.
Jadi bukan merapikan lalu membuang, melainkan membuang lalu merapikan.
Beres-beres mesti dilakukan sekaligus, siapkan waktu khusus untuk beres-beres secara marathon, jangan mencicil waktu untuk beres-beres.
Karena ini akan berpengaruh pada mental, efek perubahannya akan terasa jika dilakukan dalam satu hari.
Beres-beres dilakukan berdasarkan kategori bukan lokasi.
Jadi bukan membereskan kamar 1, lalu kamar 2, melainkan bereskan semua pakaian di rumah, kemudian bereskan semua buku, kemudian bereskan kertas, dan seterusnya.
Letakkan barang-barang di lantai sesuai kategori, misalnya baju satukan dengan baju saja jangan diletakkan bersama buku.
Ambil barang yang sudah diletakkan di lantai tersebut satu persatu dengan tangan, tanyakan dengan jujur “does it spark joy?” (“apa benda ini membangkitkan kegembiraan pada diri saya?”).
Lalu tanyakan apa barang itu diperlukan saat ini maupun yang akan datang.
Pastikan apa benar-benar akan diperlukan, misalnya jika tidak ada rencana menjual handphone yang saat ini dimiliki maka buang saja kardusnya.
Spark joy kita sendiri yang merasakan.
Marie Kondo mencontohkan selembar kaos berkarakter lucu yang dia beli di tahun 2005 dan disimpan hingga sekarang.
Sebenarnya dia tidak ingin ada orang lain melihatnya memakai kaos tersebut, tetapi dia tetap menyimpannya karena baginya kaos itu spark joy.
Kaos itu memberi kegembiraan kepadanya. Maka tidak masalah tetap menyimpannya.
Yang harus dilakukan hanyalah mempertahankan apa yang spark joy dan membuang yang tidak.
Pastikan tidak ada orang lain melihat saat sedang beres-beres.
Selain itu, jika tidak butuh suatu barang jangan berikan begitu saja ke orang lain hanya demi buru-buru menyingkirkan barang tersebut, kecuali jika dia benar-benar membutuhkannya.
Marie Kondo menjelaskan alasannya di dalam buku.
5. Mengapa Berbenah Bisa Mengubah Hidup Seseorang?
Setelah membaca testimoni di bagian “Pendahuluan” buku The Life-Changing Magic of Tidying Up mungkin kita jadi penasaran bagaimana berbenah bisa mempengaruhi para pembacanya berubah dan mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup, seperti resign dari pekerjaan atau mengakhiri pernikahan.
Kenapa dari sekadar beres-beres rumah bisa bikin orang jadi berani mengambil keputusan besar?
Jawabannya sebagaimana diungkap oleh Marie Kondo:
“Dengan menata ulang rumah kita secara menyeluruh, gaya hidup dan perspektif kita akan ikut berubah drastis. Kehidupan kita niscaya mengalami transformasi besar-besaran.”
“Dengan membereskan rumah, kita sekaligus membereskan urusan dan masa lalu kita.”
Dengan beres-beres seseorang akan menemukan apa yang lebih penting atau yang benar-benar penting.
Metode KonMari membiasakan kita mengevaluasi satu persatu apa yang dimiliki untuk ditimbang apakah semua yang saat ini dimiliki tersebut memberi kegembiraan.
Kita diajarkan untuk bertanya “why?” pada diri sendiri tentang alasan memiliki atau melakukan sesuatu.
Kenapa saya memiliki benda ini?
Kemudian saya menjawab, “karena begini”.
Lalu bertanya lagi, “terus, kenapa perlu begini?”
Lalu saya jawab, “karena begitu”.
Lalu tanya lagi, “memangnya kenapa harus begitu?” dan seterusnya.
Sampai pada akhirnya menemukan apakah yang dimiliki serta apakah yang selama ini dilakukan adalah apa yang benar-benar memancarkan kebahagiaan.
Analisis ini benar-benar bermanfaat, bukan hanya ketika sedang memilih barang melainkan juga ketika akan berbuat atau bertindak serta membuat keputusan.
Kita bisa melihat, tidak sedikit orang yang mengorbankan akhiratnya untuk kepentingan dunianya.
Sungguh merugi, bukan?
Akan tetapi ternyata ada lagi yang jauh lebih merugi dari itu: orang yang mengorbankan akhiratnya untuk kepentingan dunia orang lain.
Itu tak lain disebabkan kegagalan menganalisis apa yang benar-benar penting bagi dirinya.
Dengan beres-beres ala metode KonMari jika punya masa lalu maupun masa kini yang buruk, kita akan membuang masa lalu atau masa kini bersama dibuangnya barang-barang terkait dengan kepahitan tersebut.
Dengan demikian hati akan menjadi lebih lega dan bisa memulai hidup baru dengan semangat baru.
Dengan membuang apa-apa yang tadinya dikira tidak akan sanggup berpisah darinya, pikiran akan menjadi terbuka bahwa ternyata bisa kok membuangnya.
Bisa kok ternyata berpisah dengannya.
Ternyata banyak sekali hal yang sebenarnya bisa ditinggalkan tanpa merugikan sama sekali.
Sehingga ini akan memberi keyakinan pada diri sanggup berubah dengan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan.
Misalnya, keyakinan bahwa seorang perokok berat yang kepikiran ingin berhenti merokok akan bisa berhenti total merokok meski awalnya merasa ragu apa iya bakal bisa berhenti.
Menyingkirkan benda-benda yang tidak menimbulkan ‘joy’ serta dianggap sudah tidak diperlukan lagi dapat menjadi latihan agar bisa menyingkirkan benda-benda serta apa-apa yang jelas-jelas merugikan diri.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
6. Dua Catatan Penting terhadap Buku The Life Changing Magic of Tidying Up
Nah, sekarang bagian yang tidak kalah pentingnya, ada 2 catatan saya terhadap buku ini.
(1) Di buku ini Marie Kondo bilang jangan memodifikasi metode berbenah di buku ini demi menyesuaikan karakter diri.
Menurut Marie Kondo tidak ada pembedaan seperti metode berbenah untuk orang sibuk, metode berbenah untuk orang malas, dan sebagainya, metode buku ini mestinya bisa diterapkan semua orang, malas ataupun rajin, sibuk maupun luang.
Tetapi menurut saya silakan saja memodifikasinya sesuai kebutuhan, selama tetap memenuhi prinsip KonMari.
Marie Kondo menegaskan hanya ada 2 aktivitas yang dilakukan ketika berbenah: membuang dan memutuskan di mana akan menyimpan barang-barang.
Dari kedua aktivitas tersebut, membuang harus dilakukan pertama kali.
Dengan tetap memenuhi 2 aktivitas tersebut, menurut saya ada hal-hal yang bisa dimodifikasi, misalnya cara menyimpan pakaian atau kaos kaki tidak harus seperti yang diajarkan oleh Marie Kondo.
Saat berbenah, saya memodifikasi metode KonMari, misalnya saya tidak melakukan berbenah marathon dalam 1 hari melainkan selama 30 hari.
Meski demikian dalam sebulan itu telah banyak sekali barang-barang milik saya yang telah saya lepaskan kepemilikannya.
Menurut saya, seseorang bisa fleksibel dalam berbenah, yang penting konsisten menuntaskan pekerjaan berbenah sampai akhir.
Untuk memastikan konsistensi tersebut saya menulis catatan barang apa saja yang telah saya singkirkan setiap harinya.
(2) Tidak semua hal dalam buku ini saya sepakati, misalnya tentang menyapa atau membungkuk kepada rumah.
Hal itu mungkin lazim atau biasa di tempat penulis buku tersebut tinggal yaitu Jepang.
Namun demikian sebagai seorang muslim saya memilih untuk mengucap basmalah serta berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika akan memasuki rumah.
Saya juga tidak mengucapkan terima kasih kepada benda-benda yang telah menunaikan tugasnya, melainkan akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi benda-benda tersebut kepada saya.
Buat saya kedua poin catatan ini penting agar bisa menempatkan buku ini pada tempatnya sehingga bisa bermanfaat optimal bagi yang membacanya.
7. Beli, Pinjam, atau Download PDF Gratis Buku The Life-Changing Magic of Tidying Up?
Saya merekomendasikan Anda untuk membeli buku ini.
Di toko buku, harga buku ini versi terjemahan bahasa Indonesianya tidak sampai 100 ribu rupiah.
Jika memungkinkan sebaiknya beli saja.
Jika merasa belum punya uang untuk membeli buku ini maka siapa tahu justru dengan membaca buku ini pengeluaran bisa menjadi lebih efisien.
Itulah yang saya rasakan.
Jika ada yang bilang, “Nanti dulu deh saya masih ada daftar rencana buku lain yang ingin dibeli,” saya akan bilang “coba dulu baca buku ini”.
Karena siapa tahu setelah membaca buku ini daftar rencana buku yang telah disusun malah jadi direvisi seperti saya sampaikan di awal tulisan ini.
Saya berharap lebih banyak lagi orang yang membaca buku ini dan menemukan perubahan dirinya.
Namun demikian saya tidak menyediakan link atau tautan download PDF buku ini.
Selain karena saya menghargai jerih payah penulisnya yang telah menulis karya luar biasa, harga bukunya juga relatif terjangkau, termasuk murah malah jika dibanding dengan manfaat yang bisa diperoleh.
Dengan mengeluarkan uang buat beli buku The Life-Changing Magic of Tidying Up semoga menjadi bukti kesungguhan ingin mendulang manfaat darinya, benar-benar ingin mengubah hidupnya.
Oh, iya, ada teman yang bertanya memangnya perubahan apa yang saya rasakan setelah berbenah?
Nah, menurut saya perubahan yang akan dialami bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Adapun pada diri saya inilah beberapa perubahan tersebut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi).
Sekian review ini, semoga bermanfaat.
Apa Anda juga pernah membaca buku ini dan punya pengalaman yang ingin diceritakan?
(1) Tidak ada satu pun produk buatan manusia yang sempurna (2) Buying time promotes happiness (3) Terkadang sesuatu baru terasa nilainya ketika sudah tiada.
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Padahal WordPress.com adalah Software as a Service (Saas) yang saya anggap sangat berkualitas.
Dari peristiwa tersebut saya memperoleh penegasan kembali bahwa:
Tidak ada satu pun produk buatan manusia yang sempurna.
Buying time promotes happiness.
Terkadang sesuatu baru terasa nilainya ketika sudah tiada.
Sabtu, 5 Juni 2021 blog ini mendadak error, ketika saya mencoba menampilkan diakhir.blog yang muncul hanyalah halaman putih, blank.
Beberapa waktu kemudian, theme blog saya berubah dari Twenty Twenty One menjadi theme lain.
Perubahan itu terjadi otomatis, bukan saya yang melakukannya.
Saya memilih kembali Twenty Twenty One, tapi kini theme tersebut jadi berantakan: menu navigasi di bagian atas lenyap tak bisa dipulihkan.
Saya mencoba mengganti ke theme lain, lagi-lagi blog saya berulang kali blank!
Saya pun menghubungi Happiness Engineer melalui chat dan email dan mendapat respons bahwa beberapa laporan serupa juga telah mereka terima.
Artinya ini bukan hanya masalah saya saja, melainkan juga dialami pengguna WordPress.com di berbagai belahan dunia.
Saya diminta menunggu sementara mereka melakukan investigasi.
Beberapa jam kemudian saya mendapat info bahwa ini adalah issue atau bug yang sifatnya fundamental atau mendasar yang dampaknya dirasakan para pengguna WordPress.com.
Mereka yang tidak atau belum merasa mengalami bug tersebut bisa dengan mudah mereplikasi insiden yang banyak dilaporkan para pengguna WordPress.com tersebut.
Caranya sangat mudah, tinggal klik “Advanced General setting”, lalu klik “Save Changes”, seketika website atau blog WordPress.com pun akan langsung blank.
Selanjutnya theme bakal rusak, tidak bisa dipakai dengan normal lagi.
Upaya penyelesaian masalah tersebut terdokumentasi pada issue Github berjudul:
Pada saat saya mulai mengetik tulisan ini, issue tersebut telah memasuki hari ke-5 namun belum juga terselesaikan.
Saat menulis tulisan ini saya menggunakan themeIndependent Publisher 2 yang belum rusak dan berharap bisa segera kembali menggunakan theme Twenty Twenty atau Twenty Twenty One lagi.
Update 28 Juni 2021: Bug telah terselesaikan. Saya mendapat kompensasi berupa partial refund 45 USD (sekitar 650 ribu rupiah).
Dari kejadian tersebut ada 3 pelajaran yang saya peroleh.
1. Tidak Ada Satu pun Produk Buatan Manusia yang Sempurna
Padahal di postingan sebelumnya di blog ini saya mengapresiasi ketangguhan WordPress.com yang salah satu keunggulannya jika dibandingkan dengan WordPress versi self-hostednya adalah lebih kecil peluangnya untuk error. Ternyata WordPress.com pun bisa punya error yang sangat mengganggu kenyamanan penggunanya juga.
Tadinya saya pikir error yang muncul ini hanya akan berlangsung sebentar saja.
Saya pun juga tadinya tidak menduga suatu saat akan mengalami masalah semacam ini di WordPress.com: layar yang blank dan theme yang pada broken.
Tetapi ini benar-benar terjadi, dan bahkan selama berhari-hari tak kunjung terselesaikan.
Maka yang menjadi masalah bukan hanya sekadar terjadi bug atau issue-nya, melainkan jangka waktu penyelesaian yang ternyata memakan waktu yang cukup lama.
Tentu waktu penyelesaian yang lama ini tidak menjadi masalah jika error yang terjadi tidak signifikan, tetapi ini error yang signifikan sehingga benar-benar sangat mengganggu.
Ini ibarat saya punya akun Facebook tetapi tidak bisa mengupload foto atau punya Twitter tetapi tidak bisa mention, selama berhari-hari.
Seperti saya tulis barusan, tidak ada produk buatan manusia yang sempurna.
Saya teringat kejadian di 2015 silam ketika bahkan perusahaan sebesar Google pun pernah nyaris kehilangan harta paling berharga milik mereka: domain google.com.
Jika itu masih kurang aneh, perhatikan harga jualnya: 12 dolar saja!
Bukan Rp1 triliun, bukan Rp100 miliar, melaikan hanya 12 dolar, tak sampai Rp200 ribu.
Jadi entah error apa yang terjadi pada saat itu, seseorang berhasil membeli domain google.com dengan harga teramat sangat murah.
Ini jelas menjadi masalah besar bagi Google jika mereka tidak berhasil mengambil kembali domain tersebut.
Memang sih sang pembeli domain tidak akan bisa menggunakan domain tersebut karena terkait dengan hak cipta merk atau brand Google. Akan tetapi tidak ada larangan untuk sekadar menyimpannya saja.
Namun kemudian masalah itu pun berhasil terselesaikan dengan baik.
Sang pembeli berkenan menyerahkan domain tersebut kepada Google dengan sejumlah uang sebagai kompensasi dan dia pun mendonasikan uang tersebut.
Happy ending.
Wah, kalau kita meneliti lebih dalam hal-hal semacam ini mungkin kita bisa membuat daftar panjang.
Itu semua hanya menjadi bukti bahwa tidak ada produk buatan manusia yang benar-benar sempurna.
Nah, salah satu manfaat dari menyadari bahwa tidak ada produk buatan manusia yang sempurna adalah mencegah kita dari keragu-raguan mengeksekusi niat atau ide baik yang kita punya dengan alasan takut tidak sempurna.
Tak sedikit orang yang merasa ragu melakukan apa yang menurutnya ide yang baik tapi takut kalau dijalankan hasilnya tidak bagus.
Contohnya, ada orang yang ingin berbagi pengetahuan yang dia miliki dengan cara menulis blog, tapi dia tidak juga mewujudkan niat tersebut karena.. takut blognya tidak ada yang mengunjungi.
Saya sendiri pernah mengalami, tak kunjung menulis blog meski sudah punya niat blogging sejak lama.
Alasannya karena takut tidak konsisten dan tidak bisa bikin blog yang bagus.
Dengan menyadari tidak ada buatan manusia yang akan sempurna, maka tidak ada lagi alasan untuk takut memulai.
Karena keinginan menghasilkan karya yang sempurna pada akhirnya hanyalah ilusi yang menghambat untuk mulai berkreasi.
Tulisan tersebut mengulas intisari kuliah umum TEDx yang disampaikan oleh Olivia Remes dari University of Cambridge, “How to Cope with Anxiety” atau “Bagaimana Mengatasi Kecemasan”.
Olivia Remes menyampaikan ada 3 strategi untuk mengatasi kecemasan:
Do It for Someone Else (lakukan untuk orang atau pihak lain).
“Do It badly” adalah saran yang relevan pada bagian ini.
“Do It badly” bukan berarti melakukan dengan asal-asalan.
Ini tidak diartikan secara harfiah.
Melainkan begini, sebagian orang, terutama yang punya mental perfeksionis, tidak ingin mulai melakukan sesuatu yang kecuali dia yakin akan bisa melakukannya dengan baik.
Maka jargon “do it badly” ini bermakna, ya sudah, jalankan saja sekarang juga apa yang ingin Anda lakukan. Meskipun menurut dugaan Anda hasilnya tidak akan sempurna.
Mulai saja meski Anda merasa lagi payah-payahnya, sedang buruk-buruknya.
Lakukan saja, tanpa perlu menunggu segalanya sempurna.
Ingatlah, bahkan perusahan global sekelas Google pun pernah nyaris kehilangan domain google.com.
Ingatlah, bahkan WordPress.com pun pernah memiliki bug yang sangat mengganggu yang tidak bisa ditemukan penyelesaiannya dengan segera.
2. Buying Time Promotes Happiness
Alasan saya memilih Software as a Service (SaaS) WordPress.com untuk blog ini adalah peluang errornya yang lebih kecil.
Karena batasan-batasan yang diberlakukan, peluang terjadinya error di WordPress.com akan lebih kecil dibanding di WordPress.org yang bisa diotak-atik sebebas-bebasnya oleh yang punya blog.
Apabila ada error pun saya tidak perlu banyak repot-repot.
Hanya tinggal bikin tiket laporan, selanjutnya tinggal menunggu masalah terselesaikan.
Saya tinggal menikmati kopi saja sambil menunggu permasalahan terselesaikan.
Persis seperti apa yang ditulis Troy Hunt (Microsoft Regional Director and MVP dan pakar IT) di blognya yang menggunakan managed Ghost, ketika blognya down alias tidak bisa diakses, yang dia lakukan hanyalah duduk anteng di kolam renang atau pantai.
Menggunakan SaaS WordPress.com sama saja menyerahkan urusan pengelolaan server, security, dan maintenance mesin WordPress kepada pihak lain yang dipercaya.
Dengan demikian para pengguna layanan WordPress.com bisa lebih fokus untuk memikirkan konten.
Dalam berbagai hal menyerahkan urusan kepada pihak lain bisa membuat seseorang menjadi lebih fokus pada hal yang dianggap lebih penting untuknya.
Contohnya saya pernah mengikuti beberapa pelatihan yang mengharuskan saya menginap di hotel.
Semua peserta pelatihan mendapat fasilitas layanan laundry gratis.
Alhasil saya dan yang lainnya bisa fokus mengikuti jalannya pelatihan dari pagi hingga sore tanpa perlu memikirkan “waduh belum mencuci dan menyetrika baju!”
Contoh lainnya, seseorang membeli mesin cuci 1 tabung yang bisa digunakan untuk mencuci sekaligus untuk mengeringkan cucian secara otomatis.
Sebelumnya dia memiliki mesin cuci 2 tabung yang mana 1 tabung untuk mencuci, 1 tabung untuk mengeringkan cucian, sehingga proses mencuci memerlukan aktivitas manual memindahkan cucian dari tabung pencuci ke tabung pengering.
Dengan mesin cuci yang baru, seakan dia menyerahkan urusan memindahkan cucian dari tabung pencuci ke tabung pengering kepada orang lain (tentu ini hanya kiasan).
Dengan membeli mesin cuci baru tersebut, dia bisa menikmati tambahan waktu untuk melakukan banyak hal lainnya.
Dalam sebuah penelitian yang sangat menarik untuk disimak, berjudul “Buying Time Promotes Happiness“, malah disebutkan bahwa membelanjakan uang pada hal-hal yang bisa menghemat waktu bisa bikin seseorang menjadi lebih bahagia:
“Survei dengan sampel besar dan beragam dari empat negara mengungkapkan bahwa membelanjakan uang untuk layanan yang menghemat waktu memiliki kaitan dengan kepuasan hidup yang lebih besar.
Untuk menetapkan hubungan kausalitas/sebab-akibat (yaitu apa benar pembelian tersebut membuat hidup seseorang lebih puas), kami menunjukkan bahwa orang dewasa yang bekerja melaporkan kebahagiaan yang lebih besar setelah menghabiskan uang untuk pembelian yang menghemat waktu daripada untuk pembelian materi.
Penelitian ini mengungkapkan rute yang sebelumnya belum pernah diteliti dari kekayaan menuju kesejahteraan: menghabiskan uang untuk membeli waktu luang.”
(“Surveys of large, diverse samples from four countries reveal that spending money on time-saving services is linked to greater life satisfaction.
To establish causality, we show that working adults report greater happiness after spending money on a time-saving purchase than on a material purchase.
This research reveals a previously unexamined route from wealth to well-being: spending money to buy free time.“)
Tentu bagaimanapun juga di sini sangat bergantung preferensi atau pilihan pribadi masing-masing.
Ada orang yang justru menikmati menyelesaikan masalah sendiri, dengan begitu bisa belajar untuk menjadi lebih ahli.
Saya punya teman yang ketika komputer di kantornya bermasalah maka matanya jadi berbinar, “Saya suka tantangan untuk memperbaikinya,” katanya.
Semua kembali pada kenyamanan dan kepuasan batin masing-masing.
3. Terkadang Sesuatu Baru Terasa Nilainya ketika Telah Tiada
Banyak hal yang dulu keberadaannya terasa biasa saja.
Saking terbiasanya ada sampai-sampai seolah sudah seharusnya ada.
Namun sesuatu tersebut baru benar-benar terasa nilainya ketika sudah tidak ada atau sedang tidak ada dalam genggaman tangan kita.
Selama menanti pulihnya WordPress.com saya jadi kangen salah satu theme yang selama ini paling lama saya gunakan yaitu Twenty Twenty.
Saat saya menulis tulisan ini, beberapa theme dalam kondisi broken, termasuk Twenty Twenty.
Selama ini saya bisa menggunakannya dan meninggalkannya kapan saja saya mau.
Tetapi kini saya tidak bisa melakukan itu sampai penanganan bug WordPress.com yang saya alami ini berhasil diselesaikan.
Twenty Twenty terasa bikin kangen.
Desainnya jadi semakin terasa luar biasa.
Tidak heran karena dibuat oleh salah seorang desainer theme WordPress yang paling terkenal.
Cerita tentang sang desainer dan latar belakang theme tersebut bisa dinikmati pada artikel berjudul “Så designades Twenty Twenty“.
Artikel tersebut ditulis dalam bahasa Swedia, silakan gunakan fasilitas translator di browser yang Anda gunakan untuk bisa menikmatinya.
Yah, bukankah ini yang sering dialami seorang manusia, baru merasakan nilai sesuatu ketika sesuatu itu tidak lagi bisa dijangkaunya.
Saya pernah kuliah di Jepang selama 2 tahun.
Setelah saya kembali ke Indonesia saya jadi merasa kehilangan beberapa hal yang biasa saya lakukan dulu maupun yang belum pernah saya lakukan selama di Jepang.
Jika merasa kehilangan hal yang dulu saya anggap istimewa (seperti kemana-mana naik sepeda, makan sushi, makan udon, jalan-jalan ke toko mainan) tentu wajar.
Tetapi sekarang saya juga merasa kehilangan kesempatan untuk melakukan hal yang dulu tidak pernah saya pikirkan padahal bisa saya lakukan kalau saya mau.
Contohnya setelah pulang ke Indonesia saya baru kepikiran kenapa dahulu tidak mencoba menjelajah ke tempat-tempat yang sebelumnya tidak ada dalam pikiran saya untuk melakukannya, misalnya menginap di hotel atau penginapan di sekitaran pulau Miyajima.
Padahal saya insya Allah mudah banget waktu itu jika ingin melakukan hal itu.
Atau.. kenapa ya saya dulu tidak bikin blog atau channel Youtube yang isinya hal-hal sederhana tapi menarik saat saya tinggal di sana?
Whillans, A. V., Dunn, W. E., Smeets, P., Bekkers, R., & Norton, M. I. (2017, August 8). Buying time promotes happiness. 114(32), 8523-8527. doi:10.1073/pnas.1706541114.
Featured Image: iStock.com / Barish Baur (Standard License)
Informasi atau pengetahuan esensial bagi yang ingin membeli domain untuk toko online, blog pribadi, atau website bisnis.
Mengulas tuntas (1) Benarkah domain bagaikan sertifikat tanah? (2) Benarkah jangan membeli domain di tempat yang sama dengan menyewa hosting? (3) Checklist beli domain yang aman (4) Rekomendasi tempat beli domain.
Hi Pembaca yang baik hati, terima kasih telah mengunjungi diakhir.blog.
Anda ingin membeli domain untuk website atau blog Anda?
Ok!
Tulisan ini adalah panduan ringkas, esensial, tidak bias, dan saya upayakan seakurat mungkin mengungkap:
(1) Benarkah domain bagaikan sertifikat tanah?
(2) Benarkah jangan membeli domain di tempat yang sama dengan menyewa hosting?
(3) Checklist beli domain yang aman.
(4) Rekomendasi tempat beli domain.
Wait, apa maksud foto di atas?
Silakan lanjut baca dulu ya..
Website atau blog secara umum telah dikenal sebagai salah satu sarana memperoleh penghasilan, baik penghasilan utama maupun sampingan.
Potensi penghasilan tersebut bisa diperoleh dengan:
Membuat website bisnis.
Membuat toko online.
Memasang iklan baik Adsense dan jaringan periklanan lainnya ataupun iklan lepas.
Menulis review berbayar (paid review).
Menyediakan tempat untuk konten pihak lain (content placement).
Menjual jasa backlink.
Menyediakan tempat untuk penulis tamu (guest blogging).
dan lain-lain.
Peluang menikmati “gajian” atau profit dari website atau blog telah menarik minat banyak orang.
Hal ini terbukti dari animo atau antusiasme yang terlihat dalam diskusi-diskusi di grup-grup atau forum-forum bloger, WordPress, jaringan periklanan, internet marketing, dan sebagainya.
Selain menjadi alat berbisnis, website atau blog itu sendiri juga bisa menjadi portofolio dan juga sarana networking.
Misalnya saja saya pernah dihubungi melalui email oleh sebuah perusahaan jasa penyedia data, informasi, dan analisis industri, menawarkan untuk bergabung dengan mereka setelah mereka menemukan blog tentang ekonomi yang saya buat.
Nah, umumnya di berbagai belahan internet kita menjumpai saran agar pemilik website atau blog membeli domain berbayar, daripada menggunakan domain atau subdomain gratis seperti namablog.blogspot.com atau namawebsite.wordpress.com.
Sebenarnya membeli domain berbayar bukanlah benar-benar suatu keharusan, terlebih jika alasan ingin membeli adalah untuk bisa masuk ke halaman pertama hasil pencarian Google.
Karena terbukti beberapa website atau blog yang muncul di halaman pertama pencarian Google adalah campuran yang menggunakan domain berbayar maupun yang menggunakan subdomain gratisan seperti blogspot.com dan wordpress.com.
Jadi baik domain berbayar maupun domain atau subdomain gratis sama-sama punya kesempatan untuk masuk halaman pertama hasil pencarian Google.
Meski demikian, anjuran menggunakan domain berbayar tetap menjadi anjuran yang sangat layak dipertimbangkan.
Selain agar tampak lebih profesional, memiliki domain sendiri membuat suatu website atau blog mudah diingat, misalnya kucing.com lebih mudah diingat daripada kucing.blogspot.com atau kucing.wordpress.com.
1. Domain Bukan Sekadar Brand, melainkan Juga bagaikan Sertifikat Tanah
Domain blog atau website sebenarnya bukan hanya sekadar brand, melainkan juga bagaikan sertifikat tanah.
Saya akan berikan contoh analoginya dalam kisah robot MEGAZORD dan WARTEG favoritnya dalam 2 SKENARIO yang berbeda.
Katakanlah ada sebuah warteg bernama DIAKHIR.COM.
Kemudian ada seorang pelanggan rutin, sebut saja MEGAZORD (bukan nama sebenarnya), senang sekali makan siang di sana.
Ini foto MEGAZORD saat pergi ke warteg DIAKHIR.COM:
Oke, sekarang coba kita bayangkan ada 2 SKENARIO.
Yuk, kita baca pelan-pelan, ya, supaya paham.
Skenario 1
Suatu hari pemilik WARTEG memutuskan mengubah nama wartegnya dari DIAKHIR.COM menjadi DIAKHIR.BLOG.
Jika sebelumnya ada akhiran .COM nya sekarang berubah menjadi akhiran .BLOG.
Beberapa hari kemudian MEGAZORD kangen makan siang di warteg kesayangannya.
Dia pergi ke sana dan melihat nama warteg tersebut berubah dari DIAKHIR.COM menjadi DIAKHIR.BLOG!
Warteg tersebut masih TETAP ada di tempatnya biasa berada.
Koki dan pelayannya masih orang-orang yang SAMA.
Bangunannya juga sama.
Hanya namanya saja yang ganti dari DIAKHIR.COM menjadi DIAKHIR.BLOG.
Seiring berjalannya waktu para pelanggan rutin pun tahu warteg kesayangan mereka sudah punya nama baru.
Pergantian nama berjalan dengan sukses.
Skenario 2
Sekarang bandingkan dengan SKENARIO 2.
Di skenario ini, pemilik warteg bukan hanya berganti nama melainkan juga PINDAH TEMPAT!
Saat MEGAZORD datang ke warteg DIAKHIR.BLOG, inilah pemandangan yang dia temui.
MEGAZORD dan para pelanggan lama Warteg DIAKHIR.BLOG tidak berhasil menemukan di mana warteg unggulan mereka berada!
Perbedaan Skenario 1 dan Skenario 2
Di sini terdapat perbedaan mendasar antara SKENARIO 1 dan SKENARIO 2.
Di SKENARIO 1, WARTEG idola tersebut sebenarnya masih berada di tempat yang sama, hanya berganti nama saja.
Sedangkan di SKENARIO 2, WARTEG tersebut bukan hanya berganti nama melainkan juga pindah tempat.
SKENARIO 1 menggambarkan website atau blog yang domainnya telah berganti nama menjadi DIAKHIR.BLOG, namun si pemilik masih memiliki domain lamanya(DIAKHIR.COM).
Peralihan atau pergantian domain akan menjadi mudah, dia tinggal melakukan REDIRECT dari DIAKHIR.COM menjadi DIAKHIR.BLOG.
Sehingga semua orang yang mengunjungi DIAKHIR.COM secara otomatis akan dialihkan ke DIAKHIR.BLOG.
Ini berbeda dengan SKENARIO 2 di mana si pemilik tidak melakukan REDIRECT yang disebabkan:
(1) Dia memang sengaja tidak melakukannya.
Atau..
(2) Sebenarnya dia ingin melakukannya tetapi TIDAK BISA, karena kehilangan kepemilikan domain lamanya.
Sebagai akibatnya, para pengunjung DIAKHIR.COM tidak bisa mengakses blog tersebut dan tidak tahu bahwa blog tersebut telah berganti nama menjadi DIAKHIR.BLOG.
Maka perlakukanlah domain bukan hanya sebagai branding melainkan juga layaknya sertifikat tanah.
Website atau blog yang sudah banyak pengunjungnya namun kemudian berganti domain, jika tidak dilakukan redirect maka akan kehilangan trafiknya sebab para pengunjung lamanya tidak tahu mengenai pergantian tersebut.
Pegang erat-erat domain Anda, jika memang Anda benar-benar menganggapnya penting.
Sebab mengganti domain bisa menjadi perkara yang tidak menyenangkan jika Anda tidak memiliki domain lama Anda agar bisa melakukan redirect.
Alasan saya membuat tulisan ini karena saya pernah beberapa kali membaca keluhan di grup bloger dari orang-orang yang tertipu dalam membeli domain.
Beberapa orang membeli domain dengan harga yang murah.
Membeli dengan harga yang tidak wajar.
Begitu berjalan beberapa bulan ternyata domain mereka tidak terkoneksi lagi plus mereka juga tidak punya akses ke panel domain yang semestinya menjadi hak mereka.
Kasus-kasus semacam itu tentu merugikan, bukan hanya uang melainkan juga waktu dan energi. Terlebih jika telah berhasil meraih trafik yang berlimpah.
Jika domain seseorang mendadak tak bisa diakses maka dia akan rugi.
Risiko semacam itu bisa dihindari jika pembeli domain lebih berhati-hati dan melakukan riset terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli domain.
2. Benarkah Jangan Membeli Domain dan Menyewa Layanan Web Hosting di Tempat yang Sama?
Salah satu saran yang kerap kali disampaikan di berbagai tulisan tips membeli domain adalah janganlah Anda membeli domain di tempat yang sama dengan Anda menyewa web hosting.
Misal, jangan beli domain sekaligus menyewa layanan web hosting di provider A.
Silakan beli domain di provider A, tapi web hostingnya sewa di tempat lain.
Alasannya, jika terjadi sesuatu yang buruk pada layanan web hosting A, misal mendadak bubar, maka seseorang akan kehilangan domain dan blog/website sekaligus.
Alasan lainnya, ketika seseorang kecewa dengan pelayanan web hosting A, bisa jadi dia akan dipersulit ketika akan memindahkan atau mentransfer domain anda ke provider lain.
Terkait saran tersebut saya berbeda pendapat!
Menurut saya saran tersebut malah bisa misleading, alias bisa bikin keliru karena tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya.
Kasus di atas bisa saja terjadi tetapi akar masalahnya bukan karena membeli domain dan web hosting di tempat yang sama, melainkan karena sejak awal sudah salah dalam memilih providernya.
“Saya tidak akan merekomendasikan Anda mempercayakan nama domain Anda pada perusahaan yang tidak Anda percaya.
Percaya, bagaimanapun juga, adalah kata yang berperan penting di sini.
Mengapa Anda bekerjasama dengan provider yang tidak Anda percaya pada kesempatan pertama?
Anda ragu dengan mereka?
Tidak yakin mereka akan bertahan lama?
Ya sudah jangan pakai mereka sejak awal.”
(“I wouldn’t recommend keeping your domain name with a company you don’t trust.
Trust, however, is the operative word.
Why are you working with a service provider you don’t trust in the first place?
Have doubts?
Not sure of their longevity?
Don’t use them in the first place.“)
Fokusnya ada pada memilih provider yang dipercaya sejak awal.
Jadi kalau belum apa-apa sudah punya perasaan tidak enak, “ini provider kok kayanya meragukan, bagaimana kalau domain saya nanti ditahan, bagaimana kalau dia bangkrut dan menghilang”, ya sudah, sejak awal janganlah memilih provider tersebut!
Permasalahannya adalah terkadang orang tergiur harga yang murah sehingga mengabaikan masalah trust itu.
Ini biasanya lebih sering terjadi pada orang yang belum pernah membeli domain sebelumnya.
Saya sendiri di awal mula memutuskan memiliki domain berbayar di kisaran tahun 2010 silam, membelinya kepada sebuah provider tanpa riset terlebih dahulu.
Sekarang provider tersebut berada dalam kondisi hidup segan mati tak mau.
Websitenya sih masih ada, tapi ya itu tadi hidup segan mati tak mau.
Anda akan memahami maksud saya jika Anda juga mengunjungi website provider yang saya maksud.
Syukurlah, saya sejak lama sudah memindahkan domain-domain saya dari provider tersebut.
Apa gunanya membagi dua, domain di provider A, web hosting di provider B, jika kedua provider tersebut tidak berhasil membuat kita merasa aman sejak awal?
Apa gunanya jika sejak awal kita merasa kedua provider tersebut sama-sama kurang meyakinkan?
Menggabungkan domain dan web hosting di tempat yang sama insya Allah akan aman-aman saja selama kita memilih provider yang tepercaya.
Sebaliknya, sekadar memilih provider domain dan web hosting yang berbeda tidak akan mengurangi risiko ketika kedua provider tersebut sejak awal tampak meragukan.
Di mana pun membeli domain dan menyewa web hostingnya, pilihlah provider yang tepercaya.
Akan tetapi bagaimanapun juga tidak ada keharusan membeli domain dan web hosting di tempat yang sama.
Anda tetap selalu bisa membeli di tempat terpisah, tidak masalah.
Sebab selain faktor trust dan reputasi ada juga faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti harga (lebih murah, tetapi tetap dalam batas wajar), spesifikasi, dan fasilitas yang disediakan.
Sebagai contoh ada provider domain tepercaya tetapi harga layanan web hosting-nya relatif lebih tinggi dibanding di tempat lain, ada juga yang spesifikasinya terlalu rendah jika dibanding di tempat lain.
Di sini saya hanya ingin bilang tidak ada keharusan memisahkan tempat membeli domain dan web hosting, saya tidak bilang harus membeli di tempat yang sama.
3. Apa yang Harus Dipastikan dalam Membeli Domain
Berikut ini beberapa hal yang perlu dipastikan atau terpenuhi saat membeli domain.
Semakin bisa memenuhi poin-poin ini insya Allah semakin aman:
A. Pilihlah tempat yang legalitasnya jelas dan telah cukup lama beroperasi
Beberapa kali saya membaca keluhan di forum atau grup FB, keluhan telah tertipu oleh provider X (sebut saja begitu).
Kemudian respons orang-orang pun kira-kira begini:
“NGOMONG-NGOMONG, ANDA TAHU ADA PROVIDER X ITU DARI MANA?”
“TAHUKAH ANDA PROVIDER X INI DOMAINNYA BARU AKTIF BEBERAPA HARI/BULAN YANG LALU?”
Percayalah, Anda tidak ingin menemui hari ketika Anda mencoba mengakses client area web hosting pilihan Anda lalu yang Anda temui adalah halaman ini:
Website provider web hostingnya tidak bisa diakses!
B. Wajib riset, baca berbagai review di internet
Dulu di masa awal saya mengenal domain, saya pernah membeli domain di salah satu provider luar negeri, baru klik “order“, pesanannya belum saya bayar, eh ternyata domainnya sudah diberikan kepada saya.
Saya tidak merasa nyaman dengan sistem semacam itu karena dikuatirkan ada produk yang diberikan kepada saya tanpa saya sempat meninjaunya kembali tahu-tahu dikasih tagihan.
Kalau yang diberikan hanya domain saja sesuai pesanan tentu tidak apa-apa, bagaimana kalau diam-diam dimasukkan add-on alias fasilitas tambahan yang tidak saya minta lalu tahu-tahu saya dapat tagihan?
Maka keesokan harinya saya langsung batalkan pembelian domain tersebut.
Kemudian saya diminta membayar sejumlah uang ke provider tersebut yang langsung buru-buru saya bayar agar segera lepas dari urusan tersebut.
Membayarnya juga tidak bisa lewat kartu kredit, harus lewat transfer bank antarnegara.
Sungguh merepotkan!
Setelah saya membaca-baca lagi review provider tersebut di dunia maya akhirnya saya mendapat gambaran bahwa provider tersebut memang tidak direkomendasikan.
Malah ada yang jelas-jelas menyebutnya penipu atau scammer.
Keluhan-keluhan itu ternyata ada tetapi sayanya saja yang saat itu malas mencarinya.
Maka saya pun menerima akibat yang mestinya bisa saya hindari.
Ada banyak provider penjual domain yang punya citra bagus, maka mengapa saya malah mampir ke provider yang buruk, tentu suatu yang patut saya pertanyakan kepada diri saya sendiri.
C. Wajib punya akses ke kode EPP (Extensible Provisioning Protocol)
Ini adalah kode rahasia yang dibutuhkan oleh pemilik domain yang ingin mentransfer atau memindahkan domainnya ke provider lain.
Tanyakan pada provider Anda bagaimana cara memperoleh kode ini.
Seseorang tidak bisa disebut sebagai pemilik suatu domain jika dia tidak bisa mengakses kode ini.
Perlu diketahui ada juga masa atau periode minimal untuk memperoleh kode EPP ini, bisa beberapa bulan bisa 1 tahun, yang penting alasannya logis. Misalnya jika Anda mendapat harga promo dengan syarat selama 1 tahun tidak boleh pindah provider (sehingga Anda tidak diberi kode EPP kecuali setelah 1 tahun berakhir).
D. Wajib punya akses ke Whois domain serta memastikan mengisi dengan data yang benar
Intinya pembeli harus bisa mengisi data Whois domainnya.
Domain untuk pribadi isi dengan nama pribadi, domain untuk perusahaan atau sekolah diisi sesuai ketentuan.
Berdasarkan ketentuan yang diterima secara global, pemilik domain adalah yang namanya tertulis di Whois domain tersebut.
Jika seseorang punya domain dan menggunakannya buat blognya, tak peduli berapa lama dia merasa telah memilikinya jika yang tertulis di Whois adalah nama orang lain maka sejatinya domain itu bukan miliknya, melainkan milik orang yang namanya tertulis di Whois.
Jika terjadi sengketa, kemungkinan dia tidak bisa memperoleh domain tersebut. Kecuali jika menyangkut hak cipta yang bisa dia buktikan.
E. Pastikan harganya wajar atau jika terlalu murah pastikan ada promo yang menyertai
Misalnya harga sebuah domain .com dijual seharga 1 dolar saja (itu terlalu murah) karena promo di awal pembelian, perhatikan apakah setelah promonya habis harganya kembali normal.
Beberapa provider menyediakan promo domain gratis bagi penyewa layanan web hosting mereka di paket tertentu.
Intinya pastikan semuanya wajar.
F. Aktifkan notifikasi atau email pemberitahuan domain yang menjelang kadaluarsa
Pernah ada kasus ketika domain lupa diperpanjang maka domain tersebut mesti ditebus dengan harga berkali lipat.
Adanya notifikasi diharapkan bisa mencegah hal tersebut terjadi.
4. Rekomendasi Tempat Terbaik untuk Membeli Domain
Yang saya tulis di sini bukan berarti yang terbaik dari semua pilihan yang ada, melainkan hanya contoh yang saya tulis karena saya sendiri pernah mencobanya.
Anda bisa memilih provider lainnya selama memenuhi persyaratan yang disebutkan di bagian 3.
Baiklah, ini rekomendasi saya untuk tempat membeli domain terbaik:
Sekali lagi saya sampaikan daftar di atas adalah berdasarkan pengalaman saya membeli domain.
Bukan berarti tidak ada lagi yang lebih baik dari kedelapan penyedia domain tersebut.
Dari 8 rekomendasi tersebut saat ini saya hanya menggunakan WordPress.com, Namecheap, DomaiNesia, Jetorbit, dan IDCloudHost sebagai provider domain saya dan klien saya.
Saya sudah tidak menggunakan 3 provider lainnya (Qwords, IDwebhost, dan Rumahweb) dengan alasan simplifikasi atau penyederhanaan.
5. Kesimpulan: Tanyakan Diri Anda Seberapa Penting Sebuah Domain bagi Anda?
Apakah seseorang perlu mencari tahu atau riset sebelum membeli domain dan memastikan poin-poin sebagaimana di tulisan ini atau tidak tentu sangat bergantung bagaimana orang tersebut menilai domainnya.
Jika baginya domain tersebut penting maka tentu akan mencari tempat yang terbaik untuk membelinya.
Sebagaimana orang tua yang sayang anak-anaknya tentu akan berhati-hati dalam memilihkan makanan atau sekolah.
Atau orang yang punya emas batangan lalu menyimpannya di lemari besi atau tempat yang aman, bukan ditebar di halaman rumah.
Sebaliknya, jika domain itu tidak dianggap penting, misalnya hanya sekadar iseng-iseng dan kalaupun hilang tidak mengapa, maka bebas membeli di mana saja.